QS An Nur [24] ayat 35:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Salah satu makna dari ayat di atas adalah bahwa Allah merupakan sumber cahaya, sumber energi langit dan bumi. Segala benda dan makluk yang berada di langit dan bumi ADA karena keberadaan sumber energi ini. Segalanya menjadi tampak karena memperoleh cahaya dari sumber cahaya ini. Bila itu tiada, maka yang ada hanyalah kegelapan dan ketidaknampakkan apapun.
Allah SWT merupakan wujud tunggal yang menjadi Terawal dari kehidupan dan yang Terakhir tinggal, abadi saat seluruh kehidupan itu tiada. Semua bersumber padaNya, tersusun dari cahayaNya, berproses ke dalam bentuk unsur lain yang lebih padat daripada cahaya. Keseluruhan itu semata-mata adalah pengejawantahan wujud Allah dalam kehidupan yang tak abadi.
Pada hakikatnya seluruh kehidupan itu adalah hampa adanya, ketiadaan.
“adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan ini, berdiri sendiri sekehendak.”
[serat syekh siti jenar, Ki Sastrawijaya, pupuh III, Dhandanggula, 32].
Ini menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu cultural maupun belenggu structural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antarmanusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Sebab dalam manusia ada ruh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan Allah itu satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja.
QS Al Baqarah [2] ayat 115 : “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka kemana saja kamu menghadap disitulah Wajah Allah.”
Wujud itu dalam pribadi [ruh], dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi [ruh] untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya, mengelola keinginan jasad, sementara pribadi [ruh] tetap suci.
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehinga akibat terpecahnya jiwa dengan ruh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam Al Quran disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi perpecahan kepribadian atau kepribadian ganda, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara ruh ilahi dengan jiwa manusia atau budi manusia. Ruh Ilahi berada di dalam kedirian manusia, bukan diluar diri manusia.
Tuhan adalah Maha Meliputi. KeberadaanNya tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, kegaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaanNya. Oleh karena itu keberadaan segala sesuatu dihadapanNya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu termasuk kedirian manusia atau keberadaan manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai sesuatu yang baru, dalam arti tidak mengikuti iradahNya.
Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi ruh Ilahi, sebab raga hanyalah sebagai tempat/wadah bagi keberadaan ruh itu. Jangan terjebak hanya menghiasai wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah itu.
Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan sesuatu yang gaib bagi diri manusia. Walaupun Allah SWT adalah Maha Ghaib [Al Ghaib], namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secarah ruhiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat ruh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampiriNya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God Spot [titik Tuhan] sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistic dan matematis. Inilah titik spritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui ruh al-idhafi. Dari system kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Di dalam Al Quran itu sendiri Allah SWT berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” [QS. Qaf [50] ayat 16.
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Salah satu makna dari ayat di atas adalah bahwa Allah merupakan sumber cahaya, sumber energi langit dan bumi. Segala benda dan makluk yang berada di langit dan bumi ADA karena keberadaan sumber energi ini. Segalanya menjadi tampak karena memperoleh cahaya dari sumber cahaya ini. Bila itu tiada, maka yang ada hanyalah kegelapan dan ketidaknampakkan apapun.
Allah SWT merupakan wujud tunggal yang menjadi Terawal dari kehidupan dan yang Terakhir tinggal, abadi saat seluruh kehidupan itu tiada. Semua bersumber padaNya, tersusun dari cahayaNya, berproses ke dalam bentuk unsur lain yang lebih padat daripada cahaya. Keseluruhan itu semata-mata adalah pengejawantahan wujud Allah dalam kehidupan yang tak abadi.
Pada hakikatnya seluruh kehidupan itu adalah hampa adanya, ketiadaan.
“adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit ataupun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada diinginkan oleh hidup. Dengan demikian hidupnya kehidupan ini, berdiri sendiri sekehendak.”
[serat syekh siti jenar, Ki Sastrawijaya, pupuh III, Dhandanggula, 32].
Ini menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu cultural maupun belenggu structural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antarmanusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai. Sebab dalam manusia ada ruh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan Allah itu satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja.
QS Al Baqarah [2] ayat 115 : “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka kemana saja kamu menghadap disitulah Wajah Allah.”
Wujud itu dalam pribadi [ruh], dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi [ruh] untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya, mengelola keinginan jasad, sementara pribadi [ruh] tetap suci.
Manusia yang mendua adalah manusia yang tidak sampai kepada derajat kemanunggalan. Sementara manusia yang manunggal adalah pemilik jiwa yang iradah dan kodratnya telah pula menyatu dengan Ilahi. Sehinga akibat terpecahnya jiwa dengan ruh Ilahi, maka kehidupannya dikuasai oleh keinginan yang lain, yang dalam Al Quran disebut sebagai hawa nafsu. Maka agar tidak terjadi perpecahan kepribadian atau kepribadian ganda, dan tidak mengakibatkan kerusakan dalam tatanan kehidupan, harus ada keterpaduan antara ruh ilahi dengan jiwa manusia atau budi manusia. Ruh Ilahi berada di dalam kedirian manusia, bukan diluar diri manusia.
Tuhan adalah Maha Meliputi. KeberadaanNya tidak dibatasi oleh lingkup ruang dan waktu, kegaiban atau kematerian. Hakikat keberadaan segala sesuatu adalah keberadaanNya. Oleh karena itu keberadaan segala sesuatu dihadapanNya sama dengan ketidakberadaan segala sesuatu termasuk kedirian manusia atau keberadaan manusia. Maka sikap yang selalu menuruti raga disebut sebagai sesuatu yang baru, dalam arti tidak mengikuti iradahNya.
Raga seharusnya tunduk kepada jiwa yang dinaungi ruh Ilahi, sebab raga hanyalah sebagai tempat/wadah bagi keberadaan ruh itu. Jangan terjebak hanya menghiasai wadahnya, namun seharusnya yang mendapat prioritas untuk dipenuhi perhiasan dan dicukupi kebutuhannya adalah isi dari wadah itu.
Allah bukanlah sesuatu yang asing bagi diri manusia. Allah juga bukan sesuatu yang gaib bagi diri manusia. Walaupun Allah SWT adalah Maha Ghaib [Al Ghaib], namun itu hanya dari sudut materi atau raga manusia. Secarah ruhiyah, Allah adalah ke-Diri-an manusia itu. Dalam diri manusia terdapat ruh al-idhafi yang membimbing manusia untuk mengenal dan menghampiriNya. Sebagai sarananya, dalam otak kecil manusia, Allah menaruh God Spot [titik Tuhan] sebagai filter bagi kerja otak, agar tidak terjebak hanya berpikir materialistic dan matematis. Inilah titik spritual yang akan menghubungkan jiwa dan raga melalui ruh al-idhafi. Dari system kerja itulah kemudian terjalin kemanunggalan abadi. Maka kalau ada anggapan Allah itu ghaib bagi manusia, sesuatu yang jauh dari manusia, pandangan itu keliru dan sesat.
Di dalam Al Quran itu sendiri Allah SWT berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” [QS. Qaf [50] ayat 16.
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 Unported License
8 comments:
Ass Subhanallah ya Fit, bhw Allah adalah Sumber Cahaya & DIA Maha BerKehendak. DIA itu Maha Baik dan Penuh Cinta kepada makhlukNYA. qta harus pedekate ke DIA untuk mendapat CintaNYA. Manusia yang mendua yg disebut dalam tulisan Fitri, disebabkan dia tidak selaras melakukan pendekatan kepada Sang Rupawan. Tidak tulus, jadi timpang. Astaghfirullah... ampuni kami Ya Rabb & jangan KAU tinggalkan kami, amin. thx Fitri.. wass WR Wb.
waalaikumsalam wr wb. Mila..
Mari kita bersama membenahi diri kita ini agar selaras dengan kehendakNya dan tujuanNya atas penciptaan diri kita. Walaupun ruh sejati kita ditempatkanNya di wadah tanah yang berat dan kotor, kita berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mengalahkan segala sifat rendah yang mengikutinya, sebagaimana pesan Kanjeng Rasulullah SAW.
Dalam Albaqaroh[2]:200 bahwa manusia diperintahkan untuk mengingat Allah sebanyak-banyaknya. “Mengingat bukanlah bertasbih”. Bertasbih adalah permohonan atau munjad untuk menemui, sedangkan mengingat adalah
“dzikirullah”.
Dzikirullah artinya mengingat yaitu mengingat yang sudah dimukhasafahkan (dilihat/disaksikan). Orang yang sudah menyaksikan Cahaya Allah di
Ba’itullah, akan mudah baginya untuk mengingat bahkan untuk mengatakannya.
Bagi yang belum menyaksikan Cahaya itu, apapun status pendidikannya maka ceritanya akan berbolak-balik. Cahaya Allah sangat Indah, Cahaya itu berada dilangit terdekat atau didalam guanya yang memancar ke gunung Tursin.
Mereka yang telah diberikan kitab, diberikan ilmu dari sisiNya, maka dia akan melihat dengan penglihatan TuhanNya. Itulah mereka yang sudah sampai
ketingkat mukhasafah QS: Qaf [50]:22.
Untuk itu sering-seringlah menemui Cahaya Allah dan mengingat yang kita sembah karena dengan Cahaya itu yang nanti akan menjemput kita bila ajal sudah datang.
Terimakasih Mbak Hevi atas komentar positif dan tambahan penerangannya.
Assalamu'alaik, kalo saya lebih senang kalo Nur dalam QS An-nur, 35 tetap diartikan Nur, bukan cahaya, walaupun dari segi bahasa pengertian nur adalah cahaya. Karena Allah Azza Wa'jalla bersifat tidada dapat dibanding-bandingkan/ di umpama-umpakan.
But anyway, thx for the great reading
Saudari,ingatlah Allah menguasai kita.jangan tutupi fakta.Al balad ayat 7:apakah manusia menyangka bahwa sekali-kali tiada seorangpun yang berkuasa atasnya.Tentang ruh,setiap makhluk hidup ditiupkan ruh padanya.agar bisa hidup.manusia,hewan,tumbuhan.ruh suci,so what,bukan berarti bisa mengaku manunggal dengan gusti Allah.apakah tumbuhan dan hewan bila diberi akal pikiran juga berpikir demikian.logikanya,penduduk bumi ada jutaan orang,apa Allah manunggal dengan jutaan orang
tsb.Allah ada berapa,qul huallahu
ahad.Mengapa Allah manunggal dengan makhluk lemah.Al Araaf ayat 194: sesungguhnya berhala2 yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk(yang lemah) yang SERUPA juga dengan KAMU.Nabi2pun tidak pernah mengaku manunggal.cth,doa nabi Yunus:Laa ila ha illa ANTA,bukan Laa ila ha illa ANA,subhanaKA bukan subhaNI.Kalo benar manusia manunggal gusti,untuk apa Allah terang2an mengutus Nabi Musa ke Firaun,kalo dia benar
Saudara Edi, terimakasih berkenan visit di blog saya. mengenai komentar akhi atas tulisan ini, saya harap pahami makna Allah Al Awal dan Allah Al Akhir dengan kalbu akhi. saya tidak menutupi fakta bahwa DIA Menguasai manusia, Sang Khalik Berkuasa penuh atas makhlukNya. Dia Ada, maka makhlukNya akan ada, Dia tiada maka tiada akan pernah ada yg namanya makhluk. Dia Kekal, maklukNya tak kekal. makhluk di seantero penciptaanNya sejatinya adalah pencerminan dari Keberadaan Sang Khalik.
smoga Allah Berkenan Mencerahkan kalbu akhi perihal ini, aamin... :)
Post a Comment