Sunday, March 23, 2008

Ghurur, Terperdaya oleh Diri Sendiri


Orang-orang yang terperdaya oleh dirinya sendiri dapat digolongkan ke dalam empat bagian. Tiap-tiap bagian memiliki cabang dan membentuk kelompok pula.

Bagian Pertama

Orang-orang yang hanya memikirkan ilmu lahir dan berpikir terlampau mendalam tetapi mereka melupakan dan tidak memelihara ilmu batin. Mereka merasa bangga dengan ilmu lahir yang dimilikinya, dan dengan berpikir berlebihan menganggap dirinya telah mampu membebaskan diri dari siksa Allah, dan menganggap dirinya mampu memberikan syafa’at dan tidak akan dituntut dosanya. Orang-orang semacam ini terperdaya oleh dirinya sendiri. Kalau saja mereka sadar, maka akan tahu bahwa ilmu terbagi menjadi dua, yaitu ilmu muamalah dan ilmu makrifat.

Ilmu muamalah, diantaranya mengetahui mana yang halal dan mana yang haram, mana akhlak yang baik dan mana yang buruk, serta mengetahui bagaimana cara menghilangkan sifat-sifat buruk itu dan menjauhinya. Mengetahui semua itu tidak akan ada artinya jika tidak untuk diamalkan. Apa gunanya seseorang mengetahui suatu ilmu dan cara-cara beribadah jika tidak mengerjakannya ? mengetahui bermacam maksiat dan cara menjauhinya tetapi ia sendiri tidak berusahan menjauhinya ?. Menguasai ilmu akhlak dan dapat membedakan mana yang baik dan buruk tetapi perbuatannya bertolak belakang.

Ilmu makrifat adalah orang harus mengenal empat perkara, yaitu mengenal dirinya, mengenal TuhanNya, mengenal dunia, dan mengenal akhirat. Bila seseorang telah mengenal keempat perkara ini, maka niatnya dalam segala urusan akan menjadi baik, niat untuk menempuh jalan akhirat. Maka niatnya sah dan terjauh dari berbuat kesalahan. Karena yang merusak kalbunya adalah Ghurur yang tumbuh dari kecenderungan terhadap dunia, kemegahan dan harta.

Allah berfirman dalam QS Asy Syam ayat 9 yang artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa.”

Sehubungan dengan itu, setan akan selalu berupaya membujuk kita agar menjauhi ayat di atas. Setan akan berkata : “janganlah kamu keliru, karena maksudmu adalah menginginkan dekat kepada Allah dan memperoleh pahala. Maka semuanya akan tercapai hanya dengan ilmu. Ingatlah sabda Rasulullah SAW dalam beberapa hadist, bahwa orang yang berilmu itu sangat agung.”

Jika seseorang lemah imannya, mudah terbujuk dan kurang berpikir, maka ia akan membenarkan perkataan setan itu dan merasa tentram dengan hanya memiliki ilmu tanpa berbuat amal. Inilah yang dinamakan Ghurur.

Lain halnya dengan orang yang tidak mudah terbujuk dan selalu waspada. Bujukan setan itu akan ia jawab, “hai setan, engkau hanya mengemukakan hadist yang menerangkan keagungan ilmu dan tidak mengingatkanku akan keburukan-keburukan orang alim yang enggan mengamalkan ilmunya. Yang derajatnya sama dengan himar. Engkau tida mengemukakan padaku hadist yang berbunyi : “barangsiapa bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah amalannya, berarti ia bertambah jauh dari Allah.”

Orang Ghurur hanya mempercantik lahiriahnya dan mengabaikan batinnya. Rasulullah SAW bersabda : “Bahwasanya Allah tidak memandang rupa dan hartamu, melainkan hati dan amalanmu.”

Mereka hanya memperbanyak ibadah lahir dengan mengabaikan pemeliharaan hati/batin. Padahal hati/batin adalah pangkal dari segala ibadah. Dan seseorang tidak akan selamat kecuali menghadap Allah dengan hati/batin yang tulus.

Bagian Kedua, golongan ahli ibadah dan ahli beramal.
Yang termasuk diantaranya adalah orang-orang yang hanya mementingkan fadilah dan sunnah, tetapi fardhu mereka abaikan. Mereka bahkan jauh sekali tenggelam dalam keadaan pertentangan berlarut-larut. Misalnya, ada orang yang selalu ragu-ragu dalam berwudhu. Mereka sangat berhati-hati dalam menggunakan air, menginginkan kesempurnaan dalam berwudhu yang telah ditetapkan sucinya oleh syara’. Mereka menentukan ihtimal-ihtimal dalam bentuk najis. Yang jauh dikatakan dekat, hingga akhirnya ia bersusah payah mencari air, dan kadang-kadang lalai mengerjakan yang fardhu.

Ada juga orang yang ragu-ragu dalam berniat melakukan shalat. Setan tidak membiarkannya memperoleh niat yang sah. Bahkan selalu mengganggunya hingga ia tidak berjamaah atau sampai keluar dari waktu shalat. Dan kalaupun ia dapat berniat, masih juga ragu-ragu, sah apa tidak niatnya. Terdapat pula orang yang ragu-ragu ketika mengucapkan takbir, sampai kadang-kadang ia merubah bunyinya. Dan keraguannya itu menjalar hingga ke seluruh bagian shalat. Mereka mengira, dengan niatnya yang susah payah telah mendapatkan kelebihan dibandingkan orang lain. Dan menyangka perbuatan seperti itu dianggap baik oleh Allah. Padahal yang demikian itu adalah perbuatan Ghurur semata.

Juga terdapat orang yang merasa ragu ketika membaca Al Fathihah dan bacaan lainnya. Perasaan selalu tertuju pada pengamatan tasydid. Perhatiannya tertuju pada pembedaan bunyi dha dan zha yang membuatnya lupa memperhatikan dan menjaga syarat-syarat dan rukun lainnya. Apalagi mengetahui arti bacaannya serta hikmah-hikmah dan rahasia shalat. Hal demikian juga termasuk Ghurur. Sebab yang diperintahkan dalam membaca ayat adalah bunyi-bunyi tulisan seperti halnya yang dipakai dalam berbicara bahasa Arab, tidak berlebih-lebihan dari yang seharusnya.

Bagian Ketiga adalah ahli tasawuf.
Ghurur dari golongan ini banyak pula macamnya, terutama ahli tasawuf di masa kini, kecuali yang dipelihara oleh Allah SWT, antara lain, orang yang merasa dirinya memiliki ilmu makrifat dan telah mampu melihat Tuhan dengan hatinya, telah melalui beberapa tingkatan ahwal dan menggunakan istilah yang berlainan dengan ilmu tasawuf. Mereka menganggap dirinya dekat dengan Allah, padahal mereka hanya mengetahui namaNya, yang mereka dengan dari lafal-lafal yang dapat menjadikan sesat dan keliru.

Dengan semua itu mereka menganggap memiliki ilmu tertinggi dari umat sejak awal hingga akhir. Mereka memandang rendah dan hina para ahli fiqih, ahli tafsir, ahli hadis dan ulama, lebih-lebih kepada orang awam. Manusia awam dipandangnya sebagai hewan piaraan. Disebabkan Ghururnya itulah mengakibatkan petani awam meninggalkan sawahnya, penenun meninggalkan garapannya. Setiap hari mereka hanya bergaul dengan para ahli tasawuf palsu itu dan mendengarkan ucapan-ucapannya ang tidak ada artinya sama sekali. Kata-kata itu seolah-olah wahyu dari langit; rahasia-rahasia yang tersembunyi. Ucapannya pun merendahkan para ahli ibadah dan ahli ilmu.

Terhadap ahli ibadah, ia mengatakan bahwa mengerjakan ibadah hanya membuat tubuh kepayahan. Terhadap ahli ilmu, ia mengatakan bahwa orang-orang yang memperbincangkan ilmu adalah orang-orang yang tertutup dari Allah.

Selanjutnya, mereka mengaku, hanya merekalah yang telah sampai kepada Allah dengan mencapai tingkatan muqarrabin. Sedangkan sesungguhnya Allah memandang mereka sebagai golongan orang fasik dan munafik. Dan bagi orang-orang yang bersih hatinya dan pandai, mereka dipandang sebagai manusia dungu, tidak waras, tertipu. Sama sekali tidak memiliki ilmu tauhid, fiqih dan tasawuf yang benar. Mereka benar-benar tidak memiliki didikan untuk bermujahadah dan tidak beramal mencari keridhaan Allah serta melupakan zikir, yang membuatnya selalu menuruti keinginan nafsu syahwat dan menerima ucapan-ucapan yang tidak berarti.

Terdapat pula golongan yang menghabiskan waktunya untuk mengajar akhlak dan membersihkan diri dar segala macam celaan. Akan tetapi terlalu berlebihan sehingga secara terus-menerus mereka mencari keaiban dirinya dan mengkaji tipu dayanya, sehinga menjadi pekerjaan rutin. Segalanya untuk hal-hal seperti itu, sama halnya dengan orang yang selalu membayangkan dan menghitung bahaya-bahaya dalam menunaikan ibadah haji, yang kemudian ia tidak jadi melaksanakannya.


Bagian Keempat, golongan hartawan.
Macam diantaranya adalah orang yang suka bersedekah terhadap fakir miskin tetapi menginginkan kesaksian orang banyak. Dan fakir miskin yang disenangi adalah yang mau menceritakannya dan memujinya. Tetapi bersedekah di hadapan orang banyak dengan maksud memberi teladan dan untuk mengetuk hati orang lain adalah baik. Karenanya, dalam hal seperti itu yang penting adalah niatnya.

Ada juga golongan yang gemar mempergunakan harta kekayaannya untuk menunaikan ibadah haji. Berulang kali mereka menunaikan ibadah haji, sedang tetangganya banyak yang kelaparan. Kaitan dengan hal ini, Ibnu Mas’ud berkata “kelak pada akhir jaman banyak orang melakukan ibadah haji dengan mudah. Tetapi mereka tidak mendapatkan pahala, sebab tidak memperdulikan tetangganya yang kesulitan, bahkan menyapapun tidak.” Sebab dasar hukum menolong kesusahan tetangga terdekat adalah wajib, dan menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kali dan seterusnya adalah sunnah.

Terdapat pula golongan yang memiliki banyak uang. Ia kewalahan menjaga dan menahan uangnya agar tidak dibelanjakan, karena sayang pada uang tersebut. Dalam beribadah, mereka memilih ibadah yang dapat dikerjakan oleh anggota badan, enggan mengeluarkan uang. Mereka banyak berpuasa sunnah dan mengerjakan shalat sunnah pada malam hari, dan terkadang khataman membaca Al Qur’an. Namun mengeluarkan uang untuk jihad, membantu masjid dan madrasah, membantu rumah yatim, mereka sangat kikir. Mereka itu termasuk Ghurur sebab meninggalkan amalan yang lebih penting dan dibutuhkan.
[Sumber : Kitab Minhajul Abidin, Syaikh Hujatul Islam Muhammad Al Ghazali]

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Keutamaan Ilmu Pengetahuan


“Allah sudah menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Dia sendiri, juga malaikat dan orang-orang yang berilmu pengetahuan menyaksikan yang sedemikian itu, bahkan Allah itu Maha Berdiri Sendiri dengan adil”
[QS. Ali ‘Imran : 18]

“Allah mengangkat orang-orang yang beriman dari golonganmu semua dan juga orang-orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat”
[QS Mujadalah : 11]

“Katakanlah : Adakah sama orang-orang yang berilmu pengetahuan dan orang-orang yang tidak berilmu pengetahuan”
[QS Az Zumar : 9]

“... hanyasanya yang takut kepada Allah dari golongan hamba-hambaNya itu adalah orang-orang yang berilmu pengetahuan”
[QS Fathir : 28]

“Andaikata mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul, juga kepada orang-orang yang memegang pemerintahan, pastilah berita itu sudah dimengerti kenyataannya oleh orang-orang yang benar-benar menelita hal yang demikian tadi dari golongan mereka itu sendiri”
[QS Nisaa : 83]

Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka ia dipintarkan dalam hal keagamaan dan diilhami olehNya kepandaian dalam hal itu”
[HR Bukhari & Muslim, HR Tabrani]

Rasulullah SAW bersabda : “Para alim ulama adalah pewaris para nabi”
[HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban]

Rasulullah SAW bersabda : “Apabila aku didatangi oleh sesuatu hari dan aku tidak bertambah ilmuku pada hari itu yang dapat mendekatkan diriku kepada Allah Azza wa Jalla, maka tidak ada keberkahan untukku dalam terbitnya matahari pada hari itu”
[HR Tabrani, Abu Nu’aim dan Ibnu Abdilbar]

Rasulllah SAW bersabda : “Keutamaan seorang alim di atas seorang ‘abid [orang yang beribadat] sebagaimana keutamaanku di atas serendah-rendah orang dari golongan sahabat-sahabatku”
[HR At Tirmidzi]

Rasulullah SAW bersabda : “Keutamaan orang yang berilmu di atas orang yang beribadat itu seperti keutamaan bulan purnama di atas seluruh bintang-bintang lainnya”
[HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa-i dan Ibnu Hibban]


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Keutamaan Belajar


“Mengapa tidak ada sekelompokpun dari setiap golongan mereka itu yang berangkat untuk mencari pengertian dalam ilmu keagamaan”
[QS Taubat : 122]

“Maka tanyalah para ahli ilmu pengetahuan, apabila kamu semua tidak mengerti”
[QS Nahl : 43]

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu pengetahuan, maka dengan sebab kelakuannya itu Allah akan menempuhkan suatu jalan untuknya guna menuju surga”
[HR Muslim]

Imam Syafi’i berkata : “Mencari ilmu itu lebih utama daripada mengerjakan sunnah”

Ibnu Mas’ud berkata : “Hendaklah kamu semua mengusahakan ilmu pengetahuan itu sebelum ia dilenyapkan. Lenyapnya ilmu pengetahuan ialah dengan matinya orang-orang yang memberikan atau yang mengajarkannya. Seseorang itu tidaklah akan dilahirkan dan sudah menjadi pandai. Jadi, ilmu pengetahuan itu pastilah harus diusahakan dengan belajar”

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Keutamaan Mengajar


“Hendaklah mereka itu memberi peringatan kepada kaumnya [setelah belajar ilmu keagamaan], yakni di waktu mereka telah kembali ke tempat kaumnya tadi. Barangkali kaumnya itu menjadi hati-hati karenanya”
[QS Taubah : 122]

“Dan di waktu Allah telah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab suci yaitu “haruslah kamu semua menerang-nerangkan itu kepada seluruh manusia dan jangan kamu menyimpan-nyimpan isinya”
[QS Ali ‘Imran : 187]

“Ada sebagian golongan dari mereka yang menyembunyikan kebenaran, padahal mereka itu mengetahui”
[QS Al Baqarah : 146]

“Barangsiapa yang menyembunyikan penyaksian itu, maka berdosalah hatinya”
[QS Al Baqarah : 283]

“Siapakah orang yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan berbuat kebaikan ?”
[QS Fushilat : 32]

“Ajaklah mereka itu ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasihat yang baik”
[QS An Nahl : 125]
“Dan mengajarkan kepada mereka itu kitab dan kebijaksanaan”
[QS Al Baqarah : 151]

Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa yang mengetahui sesuatu ilmu, kemudian menyembunyikannya [tidak suka mengajarkannya], maka oleh Allah ia akan diberi kendali pada hari kiamat nanti dengan kendali dari api neraka”
[HR Bukhari dan Muslim]

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT, juga malaikat serta para penghuni langit dan bumi, sampai-sampai semut yang di dalam lubangnya dan ikan hiu yang ada di lautan, semuanya memohonkan rahmat bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang banyak”
[HR Tirmidzi]

Rasulullah SAW bersabda : “Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka putuslah amalannya, melainkan dari tiga hal yaitu sedekah yang mengalir [jariah], ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yang mendoakan untuknya”
[HR Muslim]


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Sunday, March 9, 2008

Mata Batin

Jika mengejar sesuatu yang sudah dijamin oleh Allah, engkau lakukan sungguh-sungguh, tetapi kewajibanmu engkau abaikan. Inilah bukti bahwa mata hatimu telah buta.
[Syekh Ibnu Atho’illah]


Allah Maha Kaya, Maha Memiliki segalanya. Dia tidak pernah lupa menjamin kebutuhan hidup dan rejeki makhluk-makhlukNya. Maka tidak ada alasan untuk ragu sedikitpun terhadap urusan duniawi. Tidak ada alasan untuk sibuk memikirkan nasib di masa mendatang. Kita tidak tahu apa yang terjadi besok. Sudah jelas-jelas Allah memberi jaminan rejeki dan penghidupan. Tetapi seringkali mengejarnya, sampai-sampai lupa diri. Hal itu kita lakukan disebabkan kita tidak yakin bahwa jaminan Allah itu datang. Karena sibuk mengejar sesuatu yang sudah pasti berada di tangan, kita korbankan urusan yang lebih besar; urusan akhirat.

Tidakkah kita malu terhadap makhluk Allah SWT yang bernama cecak. Padahal ia sangat lemah dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengejar rejekinya. Bayangkan, binatang cecak tidak bisa terbang, tetapi makanannya berupa nyamuk yang pandai terbang. Dia hanya merayap di dinding dan menanti nyamuk datang mendekat. Meskipun demikian, perut cecak tak pernah kosong. Allah SWT menjamin binatang yang lemah itu dengan rejeki atas kehendakNya.

Cobalah direnungkan agar tidak menjadi rakus mengejar-ngejar rejeki yang sudah pasti. Agar kitatidak begitu mudah mengorbankan perkara yang lebih utama.

Akibat tenggelam dalam lautan duniawi, mengejar sesuatu yang sudah pasti, lalu kita lupa bahwa diri ini adalah seorang hamba, punya kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Inilah yang disebut buta mata hati.

Bagaimana mungkin hati dapat memancarkan cahaya, sedangkan di dalamnya terlukis gambaran duniawi. Atau, bagaimana mungkin hati dapat menuju Allah kalau ia masih terikat oleh syahwat [keinginan]. Bagaimana hati akan mempunyai keinginan yang kuat agar masuk kepada kehadirat Allah, padahal hatinya belum suci dari “janabah” kelalaiannya. Atau, bagaimana bisa berharap agar mengerti rahasia-rahasia yang halus, padahal ia belum bertaubat untuk menebus kesalahannya.
[Syekh Ibnu Atho’illah]



Setiap orang beriman tentunya menginginkan hatinya dapat memancarkan cahaya untuk mengenal Allah dengan mata batinnya. Namun hal itu tidak akan dapat dirasakannya jika di dalam hati masih ada goresan-goresan gambaran keadaan dunia, liku-liku kehidupan yang hanya semu. Kondisi bisa menimbulkan kegelapan kalbu. Jika kalbu menjadi gelap, tidak mungkin dapat memancarkan cahayaNya, sinar keimanan tidak dapat menembusnya. Mata batin menjadi tumpul.

Agar kalbu dan mata batin dapat bercahaya, dan dapat mengenal keajaiban-keajaiban Allah, yang harus diperhatikan adalah hendaknya goresan tentang dunia yang dipandang oleh mata lahir yang kemudian menempel di dalam kalbu haruslah disingkirkan. Hal ini merupakan belenggu nafsu. Selama nafsu membelenggu kalbu, maka jangan diharapkan dapat sampai kepada Allah. Jangan berharap dapat melihat keajaiban-keajaiban. Di dalam Al Qur’an diterangkan, “Dan adapun orang-orang yang takut terhadap kebesaran Tuhannya, dan mau menahan hawa nafsu dari keinginannya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” [QS An Naziaat : 40-41]

Selain itu, hendaknya kita membersihkan jiwa dan ruhani dari kesalahan-kesalahan, baik kesalahan terhadap Allah SWT maupun terhadap sesama manusia. Orang yang memiliki kesalahan diibaratkan ia sedang menanggung janabah [junub], yaitu hadas besar yang terlebih dahulu ia harus mandi. Adapun “mandi” dari kesalahan adalah bertaubat.

Orang yang mengharapkan “ilmu” dari Allah, yang mana dengan ilmu itu dapat menyingkap segala yang gaib, haruslah bertaubat dan bertakwa. Orang yang bertakwa tidak mungkin melakukan perbuatan buruk dan rendah. Karena takwa dan perbuatan maksiat merupakan dua hal yang bertolak belakang. Mustahil dua hal itu dapat bertemu.

Oleh karena itu, janganlah kita menuruti keinginan-keinginan yang melantur setinggi langit. Keinginan itu bermuara pada penguasaan harta benda, kenikmatan dan jabatan duniawi. Jika kita mengumbar keinginan yang nilainya rendah tersebut, maka tak mungkin dapat menajamkan mata hati. Jangan berharap dapat menggunakan mata batin untuk menyingkap perkara gaib.

Tidak ada satu benda pun yang menghalangi pandangan batinmu terhadap Allah, namun yang menghalangimu untuk melihatNya adalah persangkaanmu berupa adanya sesuatu yang maujud di samping Allah.
Zat Yang Haq tidak terhijab (terhalang). Yang terhijab adalah kamu sendiri dalam melihat terhadapNya. Seandainya ada yang membatasi pandangan terhadap Allah, berarti sesuatu itu menutupiNya. Jika ada sesuatu yang menutupiNya berarti wujudNya terkurung. Setiap yang mengurung sesuatu, maka pengurung itu menguasainya. Sedangkan Allah adalah Zat Yang Menguasai seluruh hambanya.
[Syekh Ibnu Atho’illah]




Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Kedudukan Syukur dan Sabar

Syekh Al Hakim At Tirmidzi [205 H – 320H]

Ada yang bertanya tentang kedudukan syukur dan sabar, mana di antara keduanya yang lebih tinggi ?. Dalam hal ini, banyak pendapat yang telah dikemukakan para ulama terdahulu. Ada yang mengutamakan syukur serta ada pula yang mengedepankan sabar. Masing-masing mengacu kepada apa yang terdapat dalam teks Al Quran dan dalam berbagai riwayat mutawatir.

Marilah kita melihat substansi syukur dan sabar berikut namanya masing-masing. Setiap nama tentu mengarah kepada sesuatu, sebab ia terambil dari sesuatu tersebut hingga menjadi ciri darinya.

Yang dimaksud syukur adalah menyadari karunia yang Allah berikan pada dirinya, sementara yang dimaksud dengan sabar adalah tetap dalam kedudukannya bersama Tuhan.

Syukur merupakan substansi iman, sementara sabar merupakan substansi Islam. Ketika seorang hamba merasa tenang bersama Tuhan, maka dia disebut mukmin. Namun ketika menyerahkan diri sebagai hamba, maka dia disebut muslim. Keduanya terwujud dalam waktu bersamaan, sebab kalbu dalam kondisi bergerak dan bingung mencari Tuhan. Ketika mendapat rahmat, cahaya dan petunjuk, maka kalbu menjadi tenang dan stabil sehingga disebut beriman. Sebaliknya, ia menjadi gelisah dan gusar ketika cemas terhadap sesuatu. Tatkala rasa cemasitu hilang, maka kalbu kembali tenang hingga disebut beriman. Kata Aamana yang berarti beriman dalam bahasa Arab berasal dari pola Af’ala. Seorang hamba beriman kepada Tuhan yang dipatuhi dan ditaati. Dengan begitu, dia menjadi seorang muslim dalam pengertian menyerahkan dirinya untuk patuh kepada Tuhan. Disinilah, dia disebut mukmin sekaligus muslim. Kedua nama tersebut melekat padanya dalam waktu yang bersamaan. Kemudian dia diperintah untuk membuat pengakuan agar kehormatan, darah dan hartanya terjaga dari makhluk.

Siapa yang menegakkan kehormatan tersebut akan diberi pahala dan siapa yang melanggar akan diberi hukuman. Tuhan juga akan melanggar akan diberi hukuman. Tuhan juga akan memberikan apa yang menjadi haknya. Selanjutnya, dia harus memenuhi konsekuensinya sebagai seorang mukmin dan muslim sepanjang hidupnya. Dia pun meletakkan dua hal di hadapannya tanpa ada yang ketiga.

Satu hal berupa apa yang Dia perbuat terhadapmu, dan satu hal lagi berupa apa yang kamu perbuat. Yang Dia perbuat terhadapmu adalah berbagai ketetapanNya atas kondisimu berupa mulia dan hina, miskin dan kaya, sehat dan sakit, aman dan cemas, nikmat dan sengsara, lapang dan bencana, dicintai dan dibenci.

Yang harus kamu lakukan dalam menghadapi berbagai kondisi di atas adalah kalbumu harus menerima semua perbuatanNya dengan penuh ridha’. Demikian pula dengan lisanmu. Jika tidak mampu menghadapi hal tersebut dengan ridha karena syahwat yang ada pada dirimu, maka kamu harus bersabar dengan tetap teguh untuk tidak berbuat maksiat kepadaNya.

Hal lain yang harus kamu perbuat berupa perintah dan larangan. Kamu harus mengerjakan kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi segala yang dilarang. Kamu harus memenuhi perintah dan larangan tersebut. Dengan begitu, kamu telah menyerahkan diri dan hartamu sebagai bentuk pengabdian kepadaNya. Apabila kamu bisa menutup hidupmu dengan cara demikian dan menemui Tuhan dalam posisi sebagai hamba, maka itu berarti kamu telah betul-betul menjadi mukmin, dan muslim. Dosa dan hisab telah gugur darimu. Sebaliknya, siapa yang hanya memenuhi sebagiannya serta mencampur antara kebaikan dan keburukan, maka dia wajib menjalani hisab sesuai dengan kadar percampurannya. Demikian penjelasan yang cukup memadai tentan iman dan Islam. Ini menjadi kata akhir yang moderat dari pendapat berbagai pihak yang berseberangan. Sebagian memang berpendapat bahwa Islam dan iman adalah satu, sementara yang lain berpendapat bahwa keduanya berbeda.

Kita kembali kepada persoalan syukur dan sabar. Dari segi bahasa, syukur adalah terbukanya kalbu hingga karunia Tuhan tampak padamu. Di dadamu, karunia Allah selalu terlihat pda sesuatu yang Dia berikan padamu. Diriwayatkan dari Al Hasan Al Bashri bahwa Musa bertanya, “Tuhan, bagaimana cara Adam bersyuku kepadaMu ?” Tuhan Menjawab, “Dia mengetahui hal itu bersumber dari-ku, itulah bentuk syukurnya.”

Pengetahuan berasal dari kata ‘alamat [tanda]. Ia adalah gambaran atau bayangan tentang-Nya. Dada meruupakan wadah kalbu, sama seperti rumah di dalamnya, ada lentera terang yang bergantung di dinding. Jika kamu meletakkan jari-jarimu di antara lampu dan dinding, maka pasti tampak bayang-bayang di atas dinding. Telunjukmu tersebut akan tampak oleh matamu. Ia bisa melihat jumlah jari-jarimu, entah bertambah atau berkurang, dan juga bisa melihat bentuk wajahmu. Demikan pula dengan kalbu. Sesuatu yang sering diingat kalbu akan terlihat olehmu. Bayangannya akan tampak. Namun, jika kamu mengingat Tuhan, maka bayanganNya tidak nampak, sebab yang bersinar adalah cahayaNya, sehingga seluruh dada menjadi terang laksana cermin. Jika cermin tersebut bertemu dengan cahaya matahari, maka ia menjadi terang dan rumahpun penuh terisi oleh cahayanya. Dmeikianlah gambaran tentang syukur. Namanya menunjukkan sifatnya.

Sifat dan gambaran syukur adalah bahwa ia dimulai dengan mengenal nikmat, karena mengenal nikmat adalah jalan untuk mengenal Sang Pemberi nikmat. Oleh karenanya, engertian syukur sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Al Qayyim dalam Madaarij Al Salikin ada tiga yaitu (1) mengenal nikmat, (2) menerimanya, dan (3) memujinya. Mengenal nikmatterwujud lewat rasa papa dan butuh kepadanya. Memujinya adalha dengna memuji Zat Yang Memberi nikmat yang terwujud dalam dua bentuk, yaitu bersifat umum dan bersifat khusus. Yang bersifat umum adlah menyadariNya sebagai Zat Yang Maha Pemurah dan banyak memberi, sementara yang bersifat khusus adalah menceritakan nikmat Allah yang diberikan lewat dirinya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah, “Adapun yang terkait dengan nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah.”

Terkait dengan sabar, ia terambil dari kata Ashbaar, yang bermakna menjadikan sesuatu sebagai obyek atau meninggikan sesuatu untuk menjadi sasaran busur panah. Jadi, sabar terwujud dalam bentuk keteguhan amba untuk menerima panah ketentuan Tuaan bagaikan sasaran busur panah manusia yang tidak miring ke kiri atau ke kanan. Ia tidak bergeser dari tempatnya, sebab syarat untuk menjadi hamba Tuhan adalah percaya dan pasrah.

Kepasrahan tersebut berarti menerima semua ketentuanNya. Apabila dia dihadapkan pada sebuah ketentuan, lalu meninggalkan tempat, lari dan menentang Tuhan karena ketentuan yang menimpanya berarti dia tidak siap menerima.

Dengan demikian, syukur adalah menyadari nikmat dan karunia yang ada dengan cara memujiNya, sementara sabar adalah keteguhan dan ketabahan diri untuk tetap berada di hadapan Tuhan sebagai sasaran tembak yang dengna itu Dia memujimu. Jadi, di dalam syukur ada menampakkan pujian terhadapmu. Syukur adalah nikmat Tuan tampak padamu, sehingga kamu menyanjungNya dan mengucapkan pujian untukNya. Al Hamd yang berarti pujian, dan Al Madh yang berarti sanjungan memiliki makna yang sama. Hanya saja, Al Hamd tertju kepada kreasiNya, sedangkan Al Madh tertuju kepada sifatNya.

Selanjutnya, sabar adalah ujian untuk melihat kebaikan dan keburukanmu. Dengan cara seperti itu, akan terlihat apakah kamu tetap teguh dihadapanNya dan apakah kamu siap menjadi sasaran tembakNya. Dari sana pula akan tampak kejujuranmu. Dia memujimu untuk melihat bahwa dirimu benar-benar bersyukur. Allah berfirman, “dalam semua kejadian itu terdapat bukti kekuasaan Allah bagi orang yang selalu sabar dan bersyukur.” [QS Ibrahim (14) : 5]

Pada ayat di atas, Allah mengungkap kata sabar dengan pola fa’al dan mengungkap kata syukur dengan pola fa’ul. Dia mendahulukan sabar sebelum syukur, karena sikap sabar memperlihatan rasa syukur. Syukur tersebut tersimpan di dalamnya, sebagaimana api tersembunyi di dalam batu. Ujian ibarat sebatang kayu yang memunculkan api lewat bara. Ketika batu tersebut dinyalakan, maka tampaklah api yang tersembunyi tadi.

Demikian pula dengan syukur. Syukur adalah menyadari nikmat, mengungkap nikmat, menghargai pemberian, tunduk padaNya, tawadhu’ atas keagunganNya, dan disertai kalbu yang senang. Ini semua merupakan rahasia yang tersembunyi di dalam kalbu.

Ketika diberi ujian, maka dia tetap bersabar. Dia diuji guna mengungkap kebaikan yang ada dalam dirinya. Kemudian manakala ridha, maka itu berarti dia menerima ujian tersebut. Dia dipukul dengan kayu terbesar agar semua api menyala.

Demikianlah perumpamaan syukur dan sabar. Syukur adalah kalbu senang menerima nikmat Tuhan. Dialah Tuhan yang disanjung olehmu. Ketika kamu diberi ujian dan bersabar, maka kamu yang akan disanjung bersama Tuhan. Apabila Dia mempekerjakan dirimu pada sesuatu yang mengandung sanjungan terhadap Tuhan secara murni dan tulus, maka hal itu lebih baik bagimu ketimbang kamu dipekerjakan pada sesuatu yang mengandung sanjungan terhadapmu dan sanjungan terhadap Tuhanmu, karena sanjungan adalah bagian dari imbalan. Jika kamu diberi imbalan di dunia, maka itu berarti bagianmu di sana akan berkurang.

Salah satu kedudukan syukur adalah Allah memuji para nabi dan orang-orang pilihanNya, serperti Nuh dan Ibrahim, sebagai orang yang bersyukur. Tentang Nabi Nuh AS, Allah berfirman, “Dia adalah hamba yang banyak bersyukur.” [QS 17 : 3]
Lalu tentang Nabi Ibrahim AS, Allah berfirman, “Dia telah memilih dan memberikan petunjuk padanya.” [QS 16 : 12]
Tentang para rasul lainnya, Allah berfirman, “semuanya termasuk orang yang sabar.” [QS 21 : 85]
Allah menyebutkan sikap syukur khusus untuk kedua nabi tersebut, padahal semua nabi bersyukur. Allah juga menyebutkan sikap sabar secara umum, padahal mereka semua bersabar.

Orang yang bersyukur, apinya telah tampak sehingga tidak perlu lagi menyalakan kayu. Berbeda dengan orang yang sabar. Api orang yang bersabar masih perlu dinyalakan dengan kayu.

Memang ada di antara mereka yang apinya mudah menyala, karena batinnya telah kering dari syahwat. Namun ada pula yang sukar menyala, karena batinnya basah oleh syahwat. Demikian pula batu dalam kondisi lembab dan dipukul dengan kayu, maka ia tidak akan menyala.

Salah satu kedudukan syukur adalah Allah SWT menyebutkannya dalam Al Quran dan berkata, “Hendaknya kamu bersyukur kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” [QS 31:14]
Terkait dengan sabar, Allah berkata, “Sabarlah terhadap ketentuan Tuhanmu.” [QS 52:48]
“Jika kalian bersabar, maka hal itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” [QS 16:13]
Allah menjelaskan bahwa syukur adalah untukNya, sementara sabar adalah untuk mereka yang bersabar. Tentu saja sangat jauh perbedaan antara keduanya. Yang pertama untukNya dan yang kedua untukmu.

Di antara kedudukan syukur adalah Dia menyebutkannya dengan berkata, “sedikit sekali dari hambaKu yang bersyukur.” [QS 34:13]
Pasalnya, yang beramal untuk Tuhan sangat sedikit. Sebagian besar hamba beramal untuk diri mereka sendiri dengan mencari dan mengharap ridha Allah. Sangat sedikit orang yang beramal untukNya sebagai bentuk rasa syukur.

Kita juga mengetahui bahwa Nabi SAW berdiri melakukan shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak padahal dosa-dosa beliau sudah diampuni. Lalu ketika beliau ditanya, “Rasululah, anda masih melakukan hal ini, padahal doa anda yang lalu dan yang akan datang telah diampuni ?” Beliau menjawab, “Tidakkah aku layak menjadi hamba yang bersyukur ?.”

Syukur adalah perbuatan orang-orang merdeka, sementara sabar adalah perbuatan para hamba. Jadi, dimulai dari menghamba baru kemudian merdeka. Rasulullah SAW beramal sebagai bentuk rasa syukur setelah Dia memerdekakan dan mengampuni semua dosanya. Beliau memulai dengan bersabar, kemudian bersyukur.

Setiap orang yang diuji juga selalu dimulai dari yang paling ringan hinga yang paling berat. Ujian untuk bersabar lebih mudah ketimbang ujian untuk bersyukur. Bukankah Rasulullah SAW bersabda “Aku lebih khawatir terhadap ujian kelapangan yang menimpa kalian ketimbang ujian kesulitan.” Menanggapi hadis ini, Abd Al Rahman berkata, “Kami diuji dengan kesulitan dan kami bisa bersabar. Lalu kami diuji dengan kemudahan, ternyata kami tidak bisa bersabar.”

Mereka yang diuji lalu keluar tanpa mendapat kesulitan lebih tinggi derajatnya daripada mereka yang keluar dari kesulitan. Demikian pernyataan Nabi Isa AS, “Tidak ada hamba yang bertakwa dan tidak ada orang merdeka yang mulia.”

Penjelasan bahwa hamba terdiri atas dua jenis.

Pertama, hamba yang dilahirkan dalam keadaan merdeka dan mulia. Dia bebas dari syahwat, memiliki bentuk tubuh yang baik, akhlak yang bagus, jiwa yang suci, dan asal tanah yang lembut. Bukankah tanah yang semacam itu bisa dibentuk dan bisa memanjang ? siapapun yang tercipta dari jenis tanah tersebut, maka tabiatnya akan lembut, mulia dan merdeka.

Kedua, hamba yang dilahirkan oleh ibunya dalam kondisi buruk, terlaknat, dan penuh syahwat. Hal itu disebabkan asal tanahnya yang keras dan kering. Akhlaknya kotor dan jiwanya kasar. Manakala iman dan rasa takut terhadap Tuhan menyelimutinya, maka dia akan tunduk. Dia juga menjadi hamba yang bertakwa. Hanya saja pengabdiannya tidak betul-betul murni, tetapi masih bercampur. Dia masuk ke dalam tingkat pertengahan, sementara yang pertama cekatan dalam berbuat kebaikan dengan ijin Allah. Itulah karunia yang besar. [QS Al Fathir (35) : 32]

Dia beramal dengan bersabar dalam ketaatan dan bersabar dalam meninggalkan maksiat. Sepanjang hidupnya, dia selalu dalam kondisi terbebani. Sementara golongan pertama melewati tingkatan ini menuju tingkatan makrifat. Tempatnya berada di dekat Tuhan dan di hadapan pintuNya. Dia beramal berlandaskan rasa syukur, cinta dan rindu.

Dia berada di kebun agama. Beban-beban agama tidak lagi terasa baginya. Allah berfirman, “Sangat sedikit hambaKu yang bersyukur” [QS 34:13]
Dia tidak mengatakan, “sangat sedikit hambaKu yang bersabar.” Yang paling sedikit dari sertiap golongan itula yang paling mulia. Bukankah mereka yang mukmin hanya sedikit bila dibandingkan yang kafir ?. Yang bertakwa juga hanya sedikit bila dibandingkan orang-orang mukmin yang ada. Para nabi hanya segelintir bila dibandingkan jumlah para wali. Begitu juga dengan para rasul. Mereka hanya sedikit bila dibandingkan dengan jumlah para nabi.

Di antara kedudukan syukur lainnya adalah bahwa Allah berfirman, “Kami akan memberi balasan kepada mereka yang bersyukur.” [QS 3:145]
Dia juga berfirman, “Mereka yang bersabar akan dipenuhi upah mereka tanpa hisab.” [QS 39:10] Di sini, Allah menyebut kata upah karena sebagai ganti dari kesulitan yang dialami oleh orang-orang yang bersabar. Mereka tegar menghadapi kesulitan dengan mengharap imbalan, sehingga Allah memberikan upahnya.

Beberapa dengan orang yang bersyukur kepadaNya. Mereka beribadah dengan mengorbankan diri sehingga Allah menyebut kata balasan. Balasan berarti imbalan yang diberikan oleh majikan kepada hambanya. Jika orang yang bersyukur mendapat balasan seperti itu, maka orang yang sabar bekerja dan beramal dengan mengharap imbalan dan upahnya diberikan di surga tanpa hisab. Orang yang sabar diuji dan bersikap tegar sehingga diberi upah, sementara orang yang bersyukur selalu memberi, bersikap tawadhu dan murah hati, sehingga diberi balasan. Upah orang yang sabar berupa surga sebagai pengganti dari dirinya yang telah diuji, sementara orang yang bersyukur dibalas dengan kehormatan dan kemuliaan. Tentu saja sangat jauh perbedaan antara keduanya. Yang satu berupa surga dan yang lainnya berupa kemuliaan dari Tuhan.

Surga menjadi ganti dari jiwa yang pasrah kepada Tuhan, tegar dan mendapat ujian dalam menjalani kepasrahan. Di sisi lain, kedekatan dengan Tuhan menjadi pengganti dari kalbu yang memutuskan berbagai sebab dalam menuju Penciptanya. Ini adalah amal yang didasarkan pada pengorbanan jiwa, tanpa melihat kepada upah yang ada, sementara orang yang sabar beramal untukNya dalam bentuk yang telah dijelaskan sebelumnya.

Salah satu kedudukan syukur adalah bahwa lawannya berupa kufur [QS 14:7], sementara lawan sabar adalah sikap mengeluh [QS 14:21]. Kufur dimurkai dan sikap mengeluh berdosa, karena tidak bersyukur berarti lalai terhadap Tuhan dan tidak memujiNya, sementara tidak bersabar berarti ia telah tergoyahkan oleh kesulitan. Dengan demikian, seseorang mengeluh karena musibah yang melemahkannya.

Di antara kedudukan syukur lainnya adalah bahwa Allah berfirman, “jika kalian bersyukur, pasti Aku akan tambahkan untuk kalian.” [QS 14:7] Tambahan atas sesuatu berasal dari jenis yang sama. Dalam hal ini, Allah menjadikan tambahan atas syukur berupa syukur yang lain. Pasalnya, ketika mata ini melihat karunia Tuhan, maka Dia akan menyegerakan balasan untuknya di dunia, yaitu Dia menambahkan cahaya padanya. Itulah tambahan atas syukur yang ada sehingga ia bertambah melihat. Tambahan cahaya tersebut menjadi pendukung baginya untuk berjalan menuju Allah.

Ahli Sabar dan Ahli Syukur

Orang yang sabar berdiri di tempatnya sambil dilempari oleh berbagai kesulitan agar tetap tegar dan memperlihatkan ketulusannya dalam menyerahkan diri. Dengan begitu, kedudukannya naik dan pengabdiannya tulus. Di pihak lain, orang yang bersyukur akan mendapat berbagai karunia dan pemberian agar mendekat sehingga keinginannya menjadi bersih. Orang yang bersyukur mengayunkan tangannya sambil mendekat sebagai rasa hormat, cinta dan rindu kepada Tuhan atas apa yang Dia perbuat kepadanya, sementara orang yang sabar tetap di tempatnya sebagai bentuk kesetiaan kepada Tuhannya.

Orang yang bersyukur menundukkan dirinya dengan kebajikan sampai merasa malu sehingga dia kembali kepada Tuhan, sementara orang yang sabar menundukkan dirinya dengan ujian sampai dia mudah dikendalikan sehingga dia pun bisa taat kepada Tuhan.

Orang yang bersyukur kembali kepada Tuhan dalam kondisi gembira, sementara orang yang sabar kembali kepada Tuhan dalam kondisi sedih. Syukur adalah kalbu yang gembira terhadap Allah, sementara dalam sabar ada rasa bingung dan kecewa. Syukur adalah lewat karunia dan nikmat, sementara sabar adalah lewat kesulitan dan kesukaran.

Syukur adalah menyaksikan kebaikan, karunia, kemurahan, kasih sayang dan rahmatNya. Sementara sabar adalah menyaksikan ketentuanNya. Syukur adalah menyaksikan karunia Allah terhadap hambaNya, sementara sabar adalah menuntut kejujuran dari dirinya. Syukur ibarat obat-obatan kimia yang dituangkan kepada emas sehingga menjadi emas, sementara sabar ibarat api yang membersihkan emas serta membersihkan karatnya akibat banyak dibakar tanpa campuran kimia. Syukur adalah menyaksikan segala sesuatu sebagai milikNya, sedangkan sabar adalah menyerahkan segala sesuatu kepadaNya setelah tertahan untuk dirinya sendiri. Selanjutnya, Dia mengambil segala sesuatu itu dari orang itu.

Dalam syukur, kita menyaksikan karunia yang berasal dari Allah. Dalam sabar, kita melihat Allah mendapatinya dalam posisi yang benar semata. Syukur adalah keimanan hamba bahwa segala sesuatu adalah milikNya dan berasal dariNya, sementara sabar adalah keimanan hamba bahwa dirinya adalah milikNya. Syukur adalah kedudukan yang tidak mungkin didapat penduduk neraka di neraka, sebab syukur hanya untuk penghuni surga. Berbeda dengan sabar. Ia adalah kedudukan yang bisa dicapai penduduk neraka, meskipun kesabaran itu tidak bisa diterima oleh mereka.

Syukur kekal untuk penghuni surga selama-lamanya, sementara sabar menghadapi ujian dan keselamatan bersumber dari karuniaNya. Karunia berasal dari keindahanNya, sementara ujian berasal dari kekuasaanNya dan kekuasaan itu berasal dari kerajaanNya. Di akhirat nanti keindahanNya diberikan kepada penghuni surga, sementara kekuasaannya ditujukan bagi penghuni neraka.

Lihatlah, darimana keselamatan bersumber dan darimana bencana bersumber ?
Syukur menyertai kalbu yang gembira karena kemurahan Allah, sementara sabar menyertai kalbu yang pedih karena menerima ketentuan Allah. Kegembiraan adalah tunggangan kalbu dalam berjalan menuju Allah SWT, sementara kepedihan adalah lautan yang diam sehingga membutuhkan kapal dan angin yang baik untuk berlayar.

Busana Makrifat, Selendang Mengenal-Nya

Terjemah Kitab Ghawr Al Umur, Syekh Al Hakim At Tirmidzi [205 H – 320H]

Makrifat adalah raja yang Allah beri kuasa atasnya. Da memberinya satu tempat yang paling mulia dan paling tinggi. Ia memiliki busana keindahan, busana kebesaran, busana kekuasaan, busana keagungan, busana kewibawaan, busana kedermawanan, busana kemuliaan, busana rahmat, busana kasih, busana jabarut dan busana malakut. Ia juga memakai mahkota uluhiyah yang cahayanya bersinar hingga mencapai Zat Pemilik Arsy’ Yang Maha Agung.
Ada kondisi tertentu pada makrifat yang tidak dapat diungkapkan kepada masyarakat awam karena khawatir akan masuknya berbagai bisikan dan fitnah ke dalam hati mereka. Namun yang jelas, ia merupakan ilmu yang menakjubkan dan agung.

Tirai Makrifat

Di hadapannya ada banyak hijab (tirai), yaitu hijab keadilan, kebenaran, keagungan, kebesaran, kekuasaan, cahaya, kasih sayang dan kemuliaan.

Membongkar Misteri Akal

Allah menciptakan akal dan cahaya kemuliaan. Dalam penulisannya, ia terdiri atas tiga huruf yaitu ‘ain, qaf, dan lam.
‘Ain memiliki lima makna yaitu : (1) ‘izzah yang berarti kemuliaan, (2) ‘azhamah yang bermakna keagungan, (3) ‘uluw yang berarti ketinggian, (4) ‘ilm yang bermakna pengetahuan, dan (5) ‘atha yang bermakna pemberian. Untuk diketahui, setiap huruf pasti memiliki misteri dan muatan tersendiri yang tidak dimiliki huruf lain. Jadi, ketika mengucap huruf ‘ain, maka itu berarti di dalamnya ada keagungan, kemuliaan, ketinggian, pengetahuan dan pemberian.

Selanjutnya, huruf Qaf memiliki lima makna. Ia berasal dari kata Qurbah yang bermakna kedekatan, Qawl yang bermakna ucapan, Qur’an yang bermakna Al Qur’an, Qawaam yang bermakna lurus, dan Qudrah yang bermakna kekuasaan.

Ketika mengucap ‘Aq, itu artinya sudah masuk di dalamnya huruf ‘Ain dan Qaf berikut berbagai maknanya. Lalu huruf Lam, yang berasal dari kata Luthf yang bermakna lembut atau halus. Kelembutan tersebut berasal dari sifat rahmat. Rahmat tersebut berasal dari sifat belas kasih. Sifat belas kasih tersebut berasal dari rasa sayang. Rasa sayang tersebut berasal dari rasa sayang. Rasa sayang tersebut berasal dari rasa rindu. Rasa rindu itulah yang berasal dari cinta.

Hubb yang bermakna cinta terdiri atas dua huruf, Haa’ dan Baa’. Huruf Haa’ berarti Hayaah yang bermakna kehidupan, Hayaa’ yang bermakna rasa malu, Hilm yang bermakna kesabaran, dan Hikmah yang bermakna kebijaksanaan. Jadi, ketika mengucap huruf Haa, itu berarti di dalamnya ada kehidupan, rasa malu, dan kebijaksanaan.

Adapun huruf Baa’ terambil dari kata Birr yang bermakna kebajikan dan Bahaa’ yang bermakna kemuliaan. Dengan Ha’ yang ada pada kata Al Hayaah (kehidupan), Dia menghidupkan jasadnya. Dengan Haa’ yang ada pada kata Al Hubb (cinta), Dia menghidupkan kalbunya hingga bisa mengenalNya. Lalu dengna Baa’ yang ada pada kata Al Birr (kebajikan), Dia memberinya berbagai kenikmatan dunia. Dengan Baa’ yang ada pada kata Al Bahaa’ (kemuliaan), Dia memuliakannya di hadapan para malaikat. Seperti yang sudah saya jelaskan, kata ‘Aql (akal) terdiri atas beberapa huruf. Kemudian dilihat dari sisi bentuknya, ia merupakan ciptaan terbaik dan terbagus. Busananya pun merupakan busana yang terbaik dan termulia.

Ia dihiasi dengan berbagai bentuk keesaan dan keagungan Tuhan, dibungkus dengan pakaian yang berasal dari cahaya kesempurnaan, cahaya keagungan, cahaya kebesaran, cahaya kebaikan dan cahaya kemuliaan.

Ketika telah selesai dicipta, Allah berkata padanya, “Kemarilah ! Kemarilah !” lalu Dia berkata, “Pergilah ! Pergilah !” Kemudian Dia berkata lagi padanya “Duduklah ! Duduklah ! Demi Zat-Ku yang mulia, Aku tidak pernah menciptakan sebuah makhluk yang lebih baik daripada dirimu, yang lebih indah daripada dirimu, yang lebih mulia daripada dirimu, dan lebih utama daripada dirimu. Aku menciptakanmu dari cahaya, mengisimu dengan cahaya, membungkusmu dengan cahaya, mendekatkanmu dengan cahaya, menguatkanmu dengan cahaya, serta menempatkanmu di sumber cahaya. Aku adalah cahaya (QS 24 : 35), makrifat-Ku adalah cahaya, serta kalam-Ku adalah cahaya. Kamu ini berasal dari cahayanya cahaya. Kamu adalah cahaya di atas cahaya. Aku berikan cahaya-Ku pada siapa saja yang Aku Kehendaki di antara hamba-Ku.”

Setelah itu Allah bertanya padanya, “Siapa Aku ?”. Akal menjawab, “Engkau adalah Allah yang tiada Tuhan selain-Mu.” Lalu Allah berkata padanya, “Berkatmu manusia bisa taat. Berkatmu, dia bisa bersyukur. Berkatmu pula, Aku memberi. Berkatmu pula, pahala bisa diberikan. Atas kalkulasimu, perhitungan amal bisa dilakukan.”

[Diriwayatkan oleh Ibn’ Asakir dari Abu Abdillah yang berasal dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah r.a. yang menuturkan, “Aku mendengan Rasulullah SAW bersabda “Yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena. Kemudian Dia menciptakan akal dan berkata ‘Demi Zat-Ku yang mulia, Aku akan menyempurnakanmu pada orang yang Ku cintai dan Aku akan mengurangimu dari orang yang Ku benci.’”.”]

Pasukan Akal

Berikut ini adalah pasukan akal : ilmu, kesabaran, keyakinan, kebenaran, penglihatan, kecerdasan, pemahaman, kewibawaan, ketenangan, rasa malu, petunjuk, hafalan, kebersihan, ketajaman, ketakwaan, pemikiran, ingatan, ampunan, kebajikan, kasih sayang, kehalusan, kelembutan, kedermawanan, keagungan, pujian, sanjungan, rasa syukur, kekuasaan, kebesaran, kebanggaan, kemuliaan, ketawadu’an, ketundukan, kekusyukan, kepatuhan, kejujuran, kesalinghubungan, keikhlasan, niat, tekad, kesetiaan, keadilan, keselamatan, kelurusan, ihsan, kerinduan, kebijaksanaan, dan pengabdian.

Selanjutnya rasa cukup, ridha, hati-hati, pengaturan, pandangan, tawakal, penyerahan, kemenangan, pertolongan, ketulusan, kelapangan, pengampunan, penutupan, rasa senang, rasa takut, harap, cemas, penampakan, diam, cinta, perintah, larangan, kekokohan, penciptaan, kejelasan, otak, ilham, pengawasan, kecukupan, tobat, kembali, canda, bahagia, pelajaran, mawas diri, penyesalan, kepandaian, dan zuhud. Jadi, ada sekitar seratus pasukan akal.

Peran Pasukan Akal

Ilmu dan kesabaran adalah menteri akal. Keyakinan adalah panglima pasukan akal. Kebenaran adalah teman mereka yang terzalimi. Penglihatan adalah pembebasan. Kecerdasan adalah pasukan terdepan. Pemahaman adalah pemilik keteguhan. Ketenangan dan kewibawaan adalah panglima. Rasa malu merupakan pemilik rahasia. Keabaran adalah pemilik siasat. Kesadaran menjadi petunjuk. Hafalan dan penjagaan adalah pemilik simpanan.

Kesungguhan, ketakwaan dan sikap wara adalah pemilik khazanah. Pemikiran dan ingatan adalah pemilik makar. Ampunan dan kebajikan adalah pemilik kehormatan. Kasih sayang, kehalusan, kelembutan dan pengawasan adalah para pembantu hakim. Kedermawanan, keagungan, pemberian dan sikap pemurah adlaah penjaga harta. Pujian, ingatan, sanjungan, dan rasa syukur adalah pemberi bantuan. Kekuasaan, kebesaran, keagungan, kebanggaan, dan kemuliaan adalah para petarung. Sikap tawadhu’, khusyuk, tunduk adalah pasukan pejalan kaki. Kejujuran merupakan hakim. Kebenaran, keikhlasan, niat dan tekad merupakan pasukan yang maju bertarung. Kesetiaan adalah pasukan yang dipercaya. Keadilan menjadi penerang. Keselamatan dan kelurusan menjadi penunjuk jalan. Sikap ihsan adalah pembawa panji bendera.

Rasa rindu adalah pemilik bendera. Hikmah adalah pimpinan. Pengabdian, pelayanan, rasa cukup dan ridha’ adalah penyangga segala urusan. Sikap hati-hati adalah pengatur. Pendapat merupakan unsur yang melakukan musyawarah. Tawakal adalah penjaga benteng. Kemenangan dan pertolongan merupakan pasukan pemanah. Ketulusan dan kelapangan adalah para utusan. Rasa senang, takut, harap dan cemas adalah milik mereka yang bersyukur. Pengaturan dan diam adalah pasukan pengintai. Cinta adalah tempat berlabuh.

Perintah dan larangan, janji dan sumpah, keteguhan yang kokoh, penciptaan dan diam, adalah wakil. Ketajaman adalah pasukan terdepan. Otak merupakan pimpinan pasukan, sementara ilham menjadi utusan penguasa tertinggi. Pengawasan adalah intel. Senang dan gembira adalah permainan. Penglihatan menjadi mata-mata. Nasihat merupakan penyeru. Kepandaian dan kecerdasan adalah pelayan. Wara dan zuhud adalah penguji. Tobat adalah pasukan yang ada di depan.

Penyesalan adalah pasukan penjaga di belakang. Itulah gambaran pasukan berikut kondisinya, disertai para amir, pelayang, penunggang kuda, dan pasukan pejalan kakinya.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License