Tuesday, April 22, 2008

Berserah Diri dan Tidak Ikut Mengatur

Syekh Al Ahmad Ibn Athailah Al Sakandari, Kitab Al Tanwir fi Isqath Al Tadbir, bab 1

Allah SWT Berfirman, “Demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman hingga mereka berhukum kepadamu atas perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa berat menerima keputusanmu dan mereka menerima sepenuhnya.” [QS An nisaa’ : 65]

“Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Mereka tidak punya pilihan. Maha suci Allah dan Maha tinggi atas apa yang mereka sekutukan.” [QS Al Qashash : 68]

“Atau apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya ? (Tidak) hanya milik Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” [QS An Najm : 24 – 25]

Rasulullah SAW bersabda, “orang yang telah meridhai Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai nabinya, sungguh telah merasakan nikmat iman.”

Dalam hadist lain beliau bersabda, “sembahlah Allah dengan penuh kerelaan. Jika tidak bisa, kau akan mendapati kebaikan yang besar dalam kesabaranmu menerima apa yang kau benci.”

Seorang arif berkata,“siapa yang tidak ikut mengatur, [segala urusannya] akan diaturkan untuknya.”

Syekh Abu Al Hasan Al Syadzili r.a. berkata, “jika memang harus mengatur, aturlah untuk tidak ikut mengatur.” Beliau juga berkata, “jangan sekali-sekali ikut memilih dalam urusanmu. Pilihlah untuk tidak memilih. Larilah dari pilihanmu dan dari segala sesuatu menuju Allah SWT. Dialah yang menciptakan apa yang Dia kehendaki sekaligus memilihnya.”

QS An Nisaa’ ayat 65, “Demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman hingga mereka berhukum kepadamu atas perkara yang mereka perselisihkan ...” menunjukkan bahwa iman sejati hanya dapat diraih oleh orang yang sepenuhnya berhukum kepada Allah dan RasulNya, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam mengambil maupun meninggalkan, serta dalam mencintai maupun membenci. Seorang mukmin harus tunduk, termasuk dalam hukum taklif dan pengaturan.

Hukum taklif adalah berbagai perintah dan larangan yang berkaitan dengan usaha dan perbuatan hamba. Sementara pengaturan adalah ketentuan dan keinginan Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Jadi, hakikat iman hanya bisa diraih melalui dua hal, yaitu mengerjakan perintahNya dan menerima ketentuanNya.

Pada ayat tersebut di atas, Allah tidak hanya mengaitkan iman dengan kemestian untuk berhukum kepada Nabi SAW dan dengan kerelaan penuh untuk menerima segala keputusannya. Namun, Dia menekankan hal itu melalui sumpahNya dengan pemeliharaanNya yang khusus kepada Rasulullah SAW dalam bentuk kasih sayang, perhatian, pengistimewaan, dan penjagaan. Namun, “Demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman hingga mereka berhukum kepadamu atas perkara yang mereka perselisihkan...” Kalimat ini menegaskan sumpah sekaligus isi sumpahNya, karena Allah mengetahui kecenderungan jiwa manusia untuk menang dan mencari pembelaan, baik ketika berada di pihak yang benar maupun salah. Ayat tersebut mengungkapkan perhatian dan pertolongan Allah kepada Rasulullah SAW. Allah menjadikan hukum Rasulullah sebagai hukumNya dan ketentuan Rasulullah sebagai ketentuanNya, maka Allah mewajibkan hamba untuk menerima dan mematuhi hukumnya. Seseorang dianggap mengimani terhadap ketuhananNya sebelum ia mematuhi hukum dan keputusan Rasulullah SAW.


Kelembutan Allah kepada Hamba ketika Datang KetentuanNya


Ketahuilah, jika Allah SWT hendak menguatkan hamba dalam menerima sesuatu yang Dia tetapkan atas dirinya, Dia akan menyelimutinya dengan cahaya sifatNya. Dengan begitu, liputan cahayaNya akan mendahului datangnya ketentuanNya. Karenanya, ia menggantungkan diri kepada Tuhan, tidak bersandar kepada dirinya, sehingga ia kuat dan bersabar memikul semua beban.

Liputan cahaya Tuhan membantu mereka menghadapi ketentuan

Datangnya cahaya menyingkapkan kepada si hamba betapa dekatnya Allah SWT, sehingga ia mengetahui bahwa segala ketetapan dan hukum berasal dariNya. Kesadaran bahwa hukum berasal dari Tuhan menjadi penghibur baginya sekaligus membuatnya bisa bersabar.
“Bersabarlah dalam menerima hukum Tuhanmu. Sesungguhnya kau berada dalam penglihatan Kami.” [QS Al Thur : 48]
Maknanya, hukum dan ketetapan itu berasal dari Tuhanmu yang begitu baik. Jika ia berasal dari selain Dia, niscaya kau akan merasa berat.

Karena Kaulah yang menguji dan memutuskan
Aku merasa ringan menghadapi segala kesulitan
Tak ada yang bisa mengubah ketentuan Allah
Dan tak ada seorang pun yang dapat memilih

Terbukanya pintu pemahaman membantu mereka menghadapi hukum Tuhan

Ketahuilah, jika Allah SWT menetapkan suatu hukum dan keputusan atas hambaNya, dan kemudian Dia membukakan pintu pemahaman tentangnya, berarti Dia hendak memikulkan hukum itu untuknya. Sebab, pemahaman tersebut membuatmu kembali kepada Allah, mendorongmu terus menuju kepadaNya, serta menjadikanmu bersandar kepadaNya. Allah SWT berfirman, “siapa yang bersandar kepada Allah, Dia akan mencukupinya.” [QS Al Thalaq : 3]. Pemahaman tentang Allah merupakan sebab utama seseorang bisa bersabar.

Sampainya anugerah Tuhan membantu mereka menghadapi ujian

Pemberian Tuhan yang telah kau terima mengingatkanmu kepadaNya, sehingga kau lebih siap menerima hukum dan ketetapanNya. Sebagaimana Dia telah menetapkan untukmu sesuatu yang kau sukai, maka kau juga harus bersabar menghadapi sesuatu yang Dia sukai. Bukankah Allah telah berfirman, “Mengapa ketika kamu ditimpa musibah [dalam Perang Uhud], padahal kamu telah mengalahkan musuh dua kali, kau berkata, “dari mana datangnya kekalahan ini ?.” [QS Ali Imran : 165]
Allah menghibur ketika mereka mengalami kekalahan dengan kemenangan yang pernah mereka dapatkan. Kemenangan itu merupakan pemberian terdahulu. Kadang-kadang datangnya ujian disertai dengan sesuatu yang meringankan hamba yang dekat kepadaNya. Misalnya, Dia menyingkapkan kepadanya besarnya pahala yang Dia siapkan untuknya di balik ujian tadi atau Dia menanamkan keteguhan dan ketenangan ke dalam hatinya. Dia melimpahkan kelembutan dan karunia kepadanya.

Kesadaran akan baiknya pilihan Tuhan membuat mereka kuat menghadapi takdirNya

Jika hamba telah menyadari baiknya pilihan Allah SWT untuknya, ia akan merasa yakin bahwa Dia tidak menghendaki hambaNya menderita, karena Dia Maha Penyayang. Allah berfirman, “Dia Maha Penyayang kepada orang beriman.” [QS Al Azhab : 43]
Allah terkadang menakdirkan pelbagai penderitaan untuk seseorang demi karunia dan anugerah yang akan datang sesudahnya. Bukankah Allah telah berfirman, “orang-orang yang bersabar akan disempurnakan balasan mereka tanpa hisab.”

Seandainya Allah SWT membiarkan hambaNya menjalani pilihan mereka sendiri, tentu mereka tidak akan mendapatkan karuniaNya dan tidak bisa masuk ke surgaNya. Segala puji bagi Allah atas pilihanNya yang baik. Allah berfirman, “Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu, padahal ia buruk bagi kalian.”
Syekh Abu Al Hasan rahimahullah berkata, “ketahuilah, Allah SWT tidak memberimu bukan karena Dia pelit. Akan tetapi, Dia tidak memberimu karena menyayangimu. Jadi, penahanan oleh Allah sejatinya merupakan pemberian. Namun, hanya orang yang shiddiq [benar] yang mengetahuinya.”

Pengetahuan bahwa Allah SWT melihat, membuat mereka bisa bersabar menghadapi berlakunya semua ketetapan. Sebab, kesadaran hamba bahwa Allah SWT mengetahui ujian yang menimpanya akan membuatnya merasa ringan menghadapi ujian. Bukankah Allah telah berfirman, “bersabarlah menerima hukum Tuhanmu. Sesungguhnya engkau berada dalam penglihatan Kami.” [QS Al Thur : 48]

Tampaknya Allah SWT dengan segala keindahanNya membuat mereka bersabar atas segala perbuatanNya. Sebab, jika Allah SWT tampak pada seorang hamba, tentu ia tidak akan merasakan beratnya ujian. Ia dapat menahan beban ujian karena nikmatnya penampakan yang ia rasakan. Bahkan mungkin ia sama sekali tidak merasa sakit.

Pengetahuan bahwa sabar akan mendatangkan ridha Allah SWT membuat mereka bersabar menerima ketentuanNya. Sebab, sabar menerima ketentuan Allah akan mendatangkan ridhaNya. Karena itulah mereka rela memikul beban ujian. Mereka mengharapkan ridhaNya. Sama seperti orang yang menahan pahitnya obat karena ingin sembuh.

Tersingkapnya hijab membuat mereka bisa bersabar menghadapi ketetapanNya. Sebab, apabila Allah SWT hendak meringankan beban atas seorang hamba, Dia mengangkat tirai yang menutupi mata hatinya sehingga ia bisa melihat betapa dekatnya Allah SWT. Nikmat kedekatan itu membuatnya melupakan pedihnya ujian. Seandainya Allah SWT tampak pada penduduk neraka lewat keindahan dan kesempurnaanNya, tentu mereka melupakan siksa. Sebaliknya, seandainya Dia terhijab dari penduduk surga, tentu mereka tidak merasakan nikmatnya surga. Jadi, siksa adalah turunnya hijab yang menutupiNya. Bentuknya bermacam-macam. Sebaliknya, nikmat adalah terangkatnya hijab sehingga Dia nampak dan tersingkap. Bentuknya pun beragam.

Kesadaran akan adanya rahasia ketentuanNya menguatkan mereka memikul beban kewajiban. Sebab, beban kewajiban begitu berat dirasakan oleh seorang hamba. Ia harus melaksanakan semua perintah, menahan diri dari semua larangan, bersabar atas segala ketetapan, serta bersyukur ketika mendapat kenikmatan. Jadi, beban kewajiban itu berlaku dalam empat keadaan, yaitu : ketaatan, kemaksiatan, kenikmatan dan ujian. Pada setiap bagian dari keempatnya, kau wajib beribadah kepada Allah sesuai dengan rububiyahNya.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam ketaatan adalah merasakan karuniaNya.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam kemaksiatan adalah meminta ampunan atas kelalaianmu.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam ujian adalah bersabar bersamaNya.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam kenikmatan adalah bersyukur.
Melalui pemahaman, kau dapat melaksanakan semua itu dengan ringan. Jika kau memahami bahwa ketaatanmu itu akan kembali kepadamu dan bermanfaat untukmu, tentu kau bisa bersabar ketika melaksanakannya.

Pengetahuan tentang kelembutan dan kebaikan Allah SWT dalam segala ketetapanNya membuat mereka dapat bersabar menetapi semua takdirNya. Sebab, Allah SWT telah menyisipkan kelembutanNya dalam berbagai hal yang dibenci. Dalam ujian, sakit dan kesulitan, ada kelembutanNya yang rahasia, yang hanya dapat dipahami oleh orang yang memiliki mata hati. Bukankah ujian bisa melunakkan dan menjinakkan nafsu sehingga ia tak lagi menggebu meminta bagiannya. Bersama ujian ada kelemahan dan kehinaan. Dan bersama kelemahan terdapat pertolongan.

Sepenuhnya Menerima

“Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Mereka tidak punya pilihan. Maha suci Allah dan Maha tinggi atas apa yang mereka sekutukan.” [QS Al Qashash : 68]
Ayat tersebut mengandung beberapa pengertian. Penggalan ayat “Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih” mengandung kemestian bagi hamba untuk tidak ikut mengatur bersama Allah. Sebab, jika Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, berarti Dia pun mengatur sesuai dengan kehendakNya. Jadi, yang tidak mencipta, tak berhak mengatur.

Allah SWT berfirman, “apakah [Allah] yang menciptakan sama dengan yang tidak menciptakan ? apakah kalian tidak mengambil pelajaran.” [QS Al Isra’ : 17]

Ungkapan “Dia memilih” artinya, hanya Dia yang memilih dan tak ada sesuatupun yang memaksaNya berbuat. Dia senantiasa berada dalam keadaan Berkehendak dan Memilih. Karena itu, penggalan ayat itu meniscayakan hamba untuk tidak ikut mengatur dan memilih bersama Allah SWT. Apa yang menjadi milikNya, tak layak menjadi milikmu.

Sementara itu penggalan ayat “mereka tidak punya pilihan” mengandung dua pengertian. Pertama, mereka tidak layak memilih dan merasa lebih berhak daripada Allah SWT. Kedua, mereka tidak punya pilihan. Dengan kata lain, Kami tidak memberikan pilihan itu kepada mereka dan tidak membuat mereka lebih berhak atasnya.

Kemudian penggalan ayat “Mahasuci dan Mahatinggi Allah atas apa yang mereka persekutukan” menegaskan bahwa hanya Allah yang memilih dan bahwa mereka tidak bisa ikut memilih bersamaNya. Ayat itu menjelaskan bahwa siapapun yang merasa dapat memilih bersama Allah berarti telah musyrik, karena mengaku punya hak rububiyah.

Ayat “Atau apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya ? (Tidak) hanya milik Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia” [QS An Najm : 24 – 25] mengandung petunjuk untuk tidak ikut mengatur bersama Allah. “Apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya?”, tentu saja tidak. Sebab, Kami tidak menguasaka hal itu kepadanya. Akhir ayat, “hanya milik Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia”, mengharuskan hamba untuk tidak ikut mengatur bersama Allah SWT.

Maksudnya, jika kehidupan akhirat dan kehidupan dunia kepunyaan Allah, manusia tidak punya hak apapun atas keduanya. Karena itu, tidak selayaknya ia mengatur di kerajaan milik Allah, bukan miliknya. Hanya pemiliknya yang berhak mengatur di kedua negeri itu, Allah SWT.

Nabi SAW berkata, “orang yang telah meridhai Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai nabinya, sungguh ia telah merasakan nikmat iman.” Hadist ini menunjukkan bahwa orang yang berada di luar ketentuan itu, berarti tidak pernah merasakan manisnya iman, karena imannya hanya rupa tanpa nyawa. Lahir tanpa hakikat.

Hadist tersebut menunjukkan bahwa hati yang bersih dari penyakit lalai dan nafsu akan menikmati lezatnya pelbagai hakikat, selayaknya tubuh yang menikmati lezatnya makanan. Hanya orang yang rela Allah sebagai Tuhannyalah yang bisa merasakan nikmat iman. Sebab, ketika ia ridha, ia pasrah kepadaNya, mematuhi ketetapanNya, serta menyerahkan kendali kepadaNya, tidak ikut mengatur dan memilih, serta selalu menerima aturan dan pilihan terbaikNya. Ketika itulah, ia merasakan nikmatnya hidup dan lezatnya kepasrahan.

Ketika ia ridha Allah sebagai Tuhannya, ia pun mendapatkan ridha Allah. Allah berfirman, “Allah ridhai kepada mereka dan mereka pun ridha kepadaNya.”
Apabila ia telah ridha kepada Allah, Allah akan memberinya nikmat keridhaan agar ia mengetahui karunia dan anugerahNya untuknya.

Berkat pemahaman, ridha kepada Allah terwujud
Hanya melalui cahaya, pemahaman akan terwujud
Hanya melalui kedekatan, cahayamu akan memancar
Dan hanya berkat pertolongan, kedekatan akan tersingkap


Ketika hamba mendapatkan pertolongan, ia mendapatkan pemberian dari khazanah karuniaNya. Hatinya bersih dari segala penyakit berkat karunia dan cahaya Allah. Dengan begitu ia memiliki daya tangkap yang sehat, sehingga bisa merasakan lezat dan nikmat iman.

Jika saja hatinya sakit karena melalaikan Allah, tentu ia tidak akan merasakannya. Sama halnya, orang yang demam akan merasakan gula itu pahit. Apabila penyakit hati telah lenyap, ia bisa merasakan segala sesuatu seperti aslinya. Ia dapat merasakan nikmatnya iman, lezatnya ketaatan serta pahitnya pembangkangan. Karena tahu bahwa iman itu manis, ia menyenanginya, menyadari karunia Allah di dalamnya, serta mencarai berbagai cara untuk menjaganya. Selain itu, ia dapat merasakan lezatnya ketaatan, terus memeliharanya dan menyaksikan karunia Allah kepadanya.

Di sisi lain, karena tahu bahwa kekufuran dan pengingkaran itu pahit, ia tidak menyukainya dan selalu berusaha menjauhinya. Keadaan itu mendorongnya untuk meninggalkan dosa dan berpaling darinya. Kendati demikian, tidak setiap yang meninggalkan akan berpaling. Ia bisa bersikap seperti itu karena cahaya bashirah menunjukkan kepadanya bahwa membangkang dan melalaikan Allah adalah racun yang akan membinasakan hati. Jauhilah penentangan dan kekufuran sebagaimana kau menghindari makanan beracun.

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

2 comments:

firusfansuri said...

Salam,

mohon permisi sdri utk salin petikan dari kitab ibnu 'athaillah ini, utk sebaran semula di blog sy, ya sahabati.

syukran.

Fitri K DJuwono said...

Salam,
Silakan Ibnu bila itu mendatangkan manfaat bagi saudara-saudari kita.