Sunday, April 6, 2008

Bukti Cinta Hamba kepada Allah

Kitab Al Mahabbah wa al Syawq wa al Uns wa al Ridha, bab 11, Syekh Hujjatul Islam Abu Muhammad Al Ghazali, 450 – 505 H


Siapapun dapat mengaku cinta. Alangkah mudahnya mengaku cinta. Padahal, makna cinta begitu agung. Hati-hati jangan sampai orang yang mengaku mencintai Allah tertipu bisik muslihat diri sendiri dan upaya pengaburan yang dilakukan setan. Cinta harus diuji terlebih dahulu dengan beberapa indikasi. Cinta mesti ditunjukkan lewat bukti-bukti nyata. Cinta adalah sebatang pohon yang indah. Akarnya tertancap di bumi, cabangnya menjulang sampai ke langit, dan buahnya menyebar di hati, di mulut, dan semua organ tubuh lainnya. Jejak-jejak cinta yang membekas di hati dan semua organ tubuh itu seperti asap menunjukkan api dan seperti buah menunjukkan pohon.

Indikasi-indikasi kecintaan hamba kepada Allah itu banyak, di antaranya dipaparkan berikut ini.

Indikasi pertama, kecintaan dia untuk bertemu dengan Kekasih tercinta melalui penyingkapan tabir dan penyaksian langsung. Sebab, kalbu yang sungguh-sungguh mencintai Kekasihnya pasti menginginkan perjumpaan dan penyaksian. Ketika ia tahu bahwa untuk itu ia harus pergi meninggalkan dunia melalui pintu kematian, mestinya ia juga mencintai kematian, bukan malah lari menjauh darinya. Seorang pencinta tidak akan merasakan berat perjalanan dari negerinya menuju tempat Kekasihnya semata untuk bertemu dan melihatnya. Bukankah “kematian” adalah kunci perjumpaan ? ia juga pintu masuk menuju penyaksian.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim melalui jalur Abu Hurairah dan Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja mencintai pertemuan dengan Allah, maka pasti Allah juga mencintai pertemuan dengannya.”

Abu Bakar AsSiddiq berwasiat kepada Umar, “Kebenaran itu berat, tapi menyenangkan. Sebaliknya, kebatilan itu ringan, tetapi menyengsarakan. Jika kamu menjaga wasiatku ini, maka tidak ada yang lebih kamu cintai dibandingkan kematian yang sudah pasti mengenalmu. Namun, jika kamu abaikan wasiatku ini, niscaya tidak ada yang lebih kamu benci dibandingkan kematian itu. Mesti pasti kamu tidak akan bisa menaklukannya.”

Jika ada yang bertanya, “Mungkinkah orang yang tidak mencintai kematian dapat disebut orang yang mencintai Allah ?.” Orang membenci kematian boleh jadi karena mencintai dunia, atau karena sedih berpisah dengan anak-anak, keluarga, atau harta bendanya. Ini jelas menghilangkan kesejatian cintanya kepada Allah SWT. Sebab, cinta sejati menenggelamkan semesta hati. Namun, kalau cinta kepada anak dan keluarga itu masih ada, maka itu berarti aib yang menunjukkan lemahnya kecintaan orang itu kepada Allah SWT. Pada dasarnya, manusia memang berbeda-beda kualitas cintanya.
Faktor kedua yang menyebabkan orang membenci kematian adalah bahwa orang itu masih berada di tahap-tahap awal mencintai Allah. Yang ia benci bukan soal kematiannya, tetapi kedatangannya yang begitu cepat sebelum ia benar-benar siap bertemu Allah SWT. Ini tidak menunjukkan lemahnya kecintaannya kepada Allah. Ia dapat diumpamakan seperti seorang kekasih yang mendengar kabar bahwa kekasihnya akan datang menemuinya. Ia ingin kedatangannya ditunda sesaat agar ia dapat mempersiapkan rumah dan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambutnya. Ia ingin bertemu dengan Kekasihnya sesuai impian dan harapannya, dengan hati lega, tanpa beban, dan tanpa kesibukan. Kebencian dengan alasan yang jelas tidak menghilangkan kesejatian cinta sama sekali. Jadi, kecintaan kepada Allah diindikasikan oleh kesungguhan beramal dan totalitas kemauan untuk mempersiapkan diri bertemu denganNya.

Indikasi kedua, hamba itu memprioritaskan apa yang dicintai Allah dibandingkan dengan apa yang dicintai dirinya sendiri, baik secara lahir maupun secara batin. Oleh karena itu, ia pasti bersusah payah untuk terus beramal, tidak menuruti keinginan hawa nafsu, dan meninggalkan sikap bermalas-malasan. Ia senantiasa tegar dan berupaya maksimal untuk taat kepada Allah SWT, berusaha mendekatkan diri kepadaNya melalui amalan-amalan sunah, dan mencari peringkat istimewa di sisiNya, sebagaimana seorang kekasih ingin selalu bertambah dekat di hati kekasihnya.

Allah juga menegaskan bahwa orang yang mencintaiNya pasti mendahulukan apa yang dicintainya : “Mereka mencintai orang yang berhijrah dalam hati mereka kepada Mereka. Mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap segala yang diberikan kepada mereka [orang Muhajirin]. Mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan [apa yang mereka berikan itu].” [QS Al Hasyr : 9].

Orang yang terus-menerus menurut keinginan Kekasihnya, maka apa yang dia cintai adalah apa yang diinginkan oleh Kekasihnya. Bahkan, ia tidak akan memperdulikan keinginan dirinya sendiri demi memenuhi keinginan Kekasihnya. Ketika cinta menguasai seluruh wilayah nafsu, tak ada lagi kenikmatan selain Kekasih Tercinta. Namun demikian, tidak semua orang yang taat kepada Allah SWT bisa disebut sebagai kekasihNya. Hanya orang-orang yang menjauhi larangan-laranganNya yang pantas menyandang predikat sebagai kekasihNya.

Apabila Allah SWT telah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menolong dan melindunginya dari musuh-musuhnya, yaitu dirinya sendiri dan hawa nafsunya. Dia tidak akan membiarkan hamba itu terlantar dan kelelahan menghadapi hawa nafsunya. Oleh karena itu, Allah berfirman “Allah lebih mengetahui [daripada kamu] tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi Pelindung [bagimu]. Cukuplah Allah menjadi Penolong [bagimu].” [QS An Nisaa : 45].

Salah seorang arif berkata, “apabila keimanan hanya melingkar-lingkar di hati bagian luar, maka itu berarti orang yang bersangkutan mencintai Allah SWT setengah hati saja. Namun, apabila keimanan itu menghujam jauh ke lubuk hati terdalam, maka itu berarti ia mencintaiNya secara maksimal dan akan meninggalkan kemaksiatan.”

Indikasi ketiga adalah membiarkan dirinya terus berzikir mengingat Allah SWT.
Tak pernah kelu lidahnya menyebut AsmaNya. Tak pernah sunyi hatinya dari mengingatNya. Orang yang mencintai sesuatu pasti akan selalu menyebut dan mengingat sesuatu itu berikut apa saja yang mempunyai hubungan dengannya. Oleh karenanya, indikasi bahwa seseorang itu mencintai Allah adalah mencintai zikir atau mengingatNya, mencintai Al Qur’an sebagai firmanNya, mencintai Rasulullah SAW dan mencintai orang yang memiliki nasab dengan beliau.

Orang yang hatinya diliputi kecintaan kepada Allah SWT pasti juga mencintai makhluk seluruhnya, karena mereka adalah makhlukNya. Lebih-lebih mencintai Al Qur’an, Rasulullah dan orang-orang shaleh. Rasulullah SAW bersabda “Cintailah Allah karena nikmat yang Dia berikan padamu. Dan, cintailah aku karena Allah SWT.”

Menurut Sufyan Al Tsawri, “Siapapun yang mencintai orang yang mencintai Allah, maka itu berarti ia telah mencintai Allah. Siapa saja yang memuliakan orang yang memuliakan Allah, maka itu berarti ia telah memuliakan Allah.”

Sahl, smoga rahmat Allah SWT tercurah padanya, berkata, “Indikasi kecintaan kepada Allah adalah mencintai Al Qur’an. Indikasi kecintaan kepada Allah dan Al Qur’an adalah mencintai Nabi Muhammad SAW. Indikasi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW adalah mencintai sunah. Indikasi kecintaan kepada sunah adalah mencintai akhirat. Indikasi kecintaan kepada akhirat adalah membenci dunia. Indikasi kebencian kepada dunia adalah tidak mengambilnya lebih dari sekedar bekal yang dibutuhkan menuju akhirat”

Indikasi lainnya adalah bersenang-senang dengan cara berkhalwat, bermunajat kepada Allah SWT dan membaca kitabNya.
Seseorang yang mencintai Allah pasti tekun melakukan tahajud. Ia menjadikan waktu hening dan malam yang tenang sebagai kesempatan baik tanpa banyak menghadapi rintangan. Peringkat paling rendah adalah merasa nikmat menyendiri bersama Sang Kekasih dan bermunajat kepadaNya. Siapa saja yang merasa lebih nikmat tidur dan bercakap-cakap dibandingkan dengan bermunajat, bagaimana ia bisa dikatakan mencintai Allah ?.
Diriwayatkan bahwa ada seorang hamba menyendiri beribadah kepada Allah SWT di dalam sebuah semak belukar begitu lama. Suatu ketika ia melihat seekor burung bersarang di cabang sebuah pohon. Lalu ia mendekat dan bersiul-siul di sekitar pohon itu, ia berpikir “kalau saja ku pindahkan masjidku ke pohon itu, niscaya aku dapat bersenang hati menikmati siul burung itu.” Ia pun lalu benar-benar melakukannya. Lalu, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi di jaman itu, “Katakan pada si Fulan yang tengah beribadah padaKu itu, ‘kamu telah merasa senang dengan makhlukKu. Sungguh, Aku akan menurunkan kamu ke suatu peringkat yang tidak akan pernah dicapai oleh sedikitpun dari amalmu selamanya.”

Kalau demikian, maka kecintaan kepada Allah diindikasikan dengan keintiman bermunajat kepada Sang Kekasih, kenikmatan berkhalwat denganNya, dan perasaan takut terhadap segala hal yang mengganggu kesempurnaan khalwatnya dan kenikmatan munajatnya. Indikasi keintiman adalah tenggelamnya akal dan pikiran dalam kenikmatan munajat, seperti sedang bercakap-cakap dan membisikkan hati kepadaNya.

Abu Bakar Al Siddiq berkata, “siapa saja yang mencicipi kemurnian cinta kepada Allah, maka itu akan menyibukkannya dari mencari dunia. Itu juga akan membuatnya merasa sama sekali tidak memerlukan manusia seluruhnya.”

Allah menurunkan wahyu kepada Daud AS, “banyak orang mengaku cinta kepadaKu, padahal sebenarnya bohong belaka. Bagaimana tidak, ketika malam mulai kelam, ia malah tidur meninggalkan Aku. Bukankah orang yang mulai jatuh cinta ingin selalu berjumpa dengan Kekasihnya ? inilah Aku ! Aku hadir di hadapan orang-orang yang mencariKu.”

Musa AS pernah bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhanku, dimanakah Engkau ? aku bermaksud menuju Engkau.” Lalu Allah berfirman, “Jika kamu sudah bermaksud menuju Aku, maka itu berarti kamu telah sampai padaKu.”

Yahya Ibn Mu’adz juga berkata, “siapa saja yang mencintai Allah, maka ia pasti membenci dirinya.” Menurut Yahya pula, siapa saja yang tidak memiliki tiga hal ini, maka itu berarti ia tidak cinta padaNya. Pertama, lebih mengutamakan firman Allah SWT dibandingkan dengan ucapan manusia. Kedua, lebh mengutamakan bertemu Allah SWT dibandingkan dengan bertemu makhluk. Ketiga, lebih mengutamakan ibadah dibandingkan berkhidmat kepada makhluk.

Indikasi cinta yang lain adalah tidak menyesal jika ada sesuatu selain Allah SWT yang terlewati. Sebaliknya, ia benar-benar menyesal ketika sedetik berlalu tanpa zikir mengingat Allah SWT dan mematuhiNya. Ketika lalai, ia segera kembali kepada Allah SWT dan memperbanyak permohonan agar dikasihani dan diridhai. Ia juga segera bertobat kepadaNya.

Indikasi lain kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT adalah merasa nikmat dalam taat. Ia tidak merasa berat dan tidak merasa letih dalam taat.

Al Junaid juga menegaskan bahwa indikasi cinta adalah selalu giat dan tekun melawan hawa nafsu. Fisik boleh lelah, tapi hati tak pernah lelah. Sufi yang lain berkata, “beramal atas dasar cinta takkan pernah diliputi rasa letih.” Senada dengan ini, sebagian ulama bertutur, “tak habis-habisnya orang yang mencintai Allah SWT berbuat taat, walaupun harus menghadapi berbagai rintangan besar.”

Indikasi selanjutnya adalah mengasihi dan menyayangi seluruh makhluk Allah, juga keras terhadap musuh-musuh Allah SWT dan setiap orang yang melakukan perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Pencinta sejati pasti tidak peduli dengan kecaman orang lain. Tidak ada yang dapat membungkam kemarahannya di jalan Allah SWT.

Para kekasih Allah SWT yang demikian itu dilukiskanNya dalam firmanNya, “mereka begitu lengket cintanya, sebagaimana bayi lengket dengan mainannya. Mereka melindungi diri dengan berzikir dan mengingatKu, sebagaimana burung nazar melindungi sarangnya. Mereka berang terhadap perbuatan haram, sebagaimana singa mengaung ketika marah besar. Mereka tidak akan peduli apakah musuh-musuh itu sedikit atau banyak”

Indikasi lain kecintaan hamba kepada Allah SWT adalah cintanya bercampur rasa takut, juga merasa kecil dibawah wibawa dan keagungan Allah SWT.
Mungkin orang mengira cinta dan takut adalah dua kata yang berlawanan. Padahal, sebenarnya tidak. Bahkan, keagunganNya menimbulkan wibawa, sebagaimana keindahan menimbulkan rasa cinta. Namun, bagi para pencinta, perasaan takut pada tingkatan cinta berbeda dengan yang ada pada bukan pencinta.

Perasaan takut itu sendiri tidak sama tingkatannya antara sesama pencinta. Sebagian lebih dahsyat dibandingkan dengan yang lain.

Tingkatan pertama adalah takut berpaling dari Allah SWT.
Tingkatan kedua adalah takut tabir tertutup.
Tingkatan ketiga adalah takut diusir dan dijauhkan dari Alah SWT.


Perasaan takut disingkirkan dan dijauhkan dariNya itu jelas hanya mencemaskan hati mereka yang sudah biasa berdekatan dan sudah mencicipi nikmatnya berdekatan denganNya. Tak heran bila pembicaraan tentang mereka yang dijauhkan dari Allah terdengar sumbang bagi mereka yang benar-benar sudah dekat dengan Allah. Dan, sudah barang tentu, orang yang terbiasa jauh dari Allah tidak akan merasa rindu untuk berdekatan denganNya. Begitu pula orang-orang yang tidak pernah berdekatan dengan Allah. Mereka pasti tidak akan menangis karena takut dijauhkan dariNya. Bahkan, mereka takut untuk berdiri dihadapanNya dan tak ingin bertambah dekat denganNya.

Tingkatan takut yang keempat adalah takut kehilangan kembali sesuatu yang belum ia ketahui.

Tingkatan takut yang kelima adalah takut lupa pada Allah SWT. Seorang pencinta mesti tercekam kerinduan dan secepat kilat melakukan pencarian. Tak lelah ia mengupayakan agar dirinya bertambah dekat denganNya. Ia tidak akan lalai dan melupakanNya kecuali ada sesuatu yang secara halus mengganggunya. Kalau ia sampai melupakanNya, maka itu akan menyebabkan ia berhenti dan bahkan kembali. Bisa saja ia melupakanNya tanpa terasa, sebagaimana cinta menyelinap begitu saja ke dalam dirinya juga tanpa terasa. Perubahan seperti itu terjadi disebabkan oleh rahasia langit yang tak bisa diungkap oleh kekuatan manusia. Jika Allah menghendaki ia mundur dan menjauh secara perlahan-lahan, maka Dia akan membuatnya lalai dan lupa secara samar. Ia tidak menyadari bahwa ia telah melupakanNya. Ia lalu berhenti menghaturkan harapan-harapan kepada Allah. Ia tertipu oleh pandangan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia juga dikuasai oleh kelalaian dan hawa nafsu. Semua itu merupakan bala tentara setan yang telah mampu menaklukan bala tentara malaikat, berupa ilmu, akal, zikir dan hal-hal yang sudah jelas dari Allah SWT.

Beberapa sifat Allah menuntut timbulnya kecintaan yang semakin berkorbar, seperti sifat kelembutan, kasih sayang dan kebijaksanaanNya. Sebagian lagi ada sifat Allah yang menimbulkan kelalaian dan lupa diri, seperti sifat keperkasaan, kemuliaan dan kemandirianNya. Itu merupakan awal bagi kemunduran, penderitaan dan penyesalan diri.

Tingkatan takut yang keenam adalah takut kecintaannya bergeser : dari cinta kepada Allah menjadi cinta kepada yang lain. Ini jelas sangat tidak disukai dan sangat dibenci. Pergeseran cinta itu terjadi diawali oleh kelalaian mengingat Allah, sedangkan kelalaian mengingat Allah diawali oleh sikap berpaling dari Allah dan terbentangnya tabir penghalang antara dia dan Allah. Sikap berpaling dan terbentangnya tabir itu diawali oleh perasaan tertekan untuk berbakti kepada Allah, tidak memiliki semangat untuk selalu berzikir mengingat Allah, dan jemu untuk melalukan wiridan. Lebih jauh lagi, apabila gejala-gejala seperti itu sudah nampak, maka ini menjadi indikasi terjadinya pergeseran posisi : dari posisi kecintaan kepada Allah ke posisi kebencian kepadaNya. Na’udzubillahiminh zalik... mudah-mudahan kita dilindungiNya dari hal tersebut.

Komitmen yang tinggi untuk senantiasa merasa takut terhadap hal-hal yang telah disebutkan di atas serta mewaspadainya dengan penuh hati-hati melalui ketulusan beribadah merupakan bukti nyata kesejatian cinta. Sebab, orang yang mencintai sesuatu pasti takut kehilangan sesuatu itu.

Salah seorang arif menasihati, “Siapa saja yang menyembah Allah SWT dengan rasa cinta semata, tanpa disertai rasa takut juga, maka ia akan binasa akibat terlalu gembira dan leluasa. Siapa saja yang menyembah Allah dengan rasa takut semata, tanpa disertai rasa cinta juga, maka ia akan berhenti beribadah karena ketakutan yang berlebihan, atau karena jaraknya berjauhan. Siapa saja yang menyembah Allah dengan rasa cinta dan rasa takut sekaligus, maka ia akan dicintai oleh Allah SWT, didekatkan kepadaNya, ditempatkan di sisiNya, dan dikaruniai berbagai ilmu dariNya.”

Jadi, orang yang mencinta Allah SWT tidak bisa lepas dari perasaan takut. Demikian pula sebaliknya, orang yang takut kepada Allah SWT tidak bisa lepas dari perasaan cinta. Orang yang dikuasai perasaan cinta secara berlebihan, pasti perasaan takut hanya segelintir saja. Ia memang dikatakan berada di maqam cinta dan dalam komunitas para pencinta. Perasaan takut yang tersisa hanya sedikit saja itu dapat menenangkan dirinya dari kemabukkan cinta. Namun, kalau cinta sudah mengalahkan segala yang ada dalam dirinya dan makrifat sudah menguasainya, maka itu sudah di luar batas kemampuan manusia. Perasaan takut hanyalah untuk mengimbangi perasaan cinta dan meringankan pegaruhnya terhadap hati.

Indikasi selanjutnya dari kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT adalah merahasiakan kecintaannya, tidak mengaku-ngaku dan bersikap hati-hati untuk tidak membeberkan perasaan dan kecintaannya, demi memuliakan, mengagungkan dan menghormati Sang Kekasih serta menjaga semangat kerahasiaannya.
Sebab, cinta adalah bagian dari rahasia Sang Kekasih. Pengakuan cinta kadang melewati batas makna sejatinya dan melebihi apa yang sebenarnya. Ini termasuk perbuatan yang dibuat-buat, yang akan mendapat sanksi besar kelak di akhirat dan mendapat cobaan berat di dunia.

Suatu kali Dzu Al Nun menjumpai salah seorang rekannya yang menyebut dirinya mencintai Allah dan mendapat suatu cobaan. Dzu Al Nun berkata pada rekannya itu, “tidak bisa disebut mencintai Allah, orang yang masih merasakan sakitnya penderitaan dariNya.” Rekannya itu pun menjawab, “aku juga mau mengatakan bahwa tidaklah mencintaiNya orang yang tidak merasa nikmat dengan derita dariNya.” Dzu Al Nun berkata lagi, “aku juga mau mengatakan bahwa tidaklah mencintaiNya orang yang menyebut-nyebut diri mencintaiNya.” Lalu rekannya itu berkata, “astagfirullah.. aku bertobat padaMu ya Allah.”

Jika ada yang bertanya, “cinta adalah maqam puncak. Menunjukkan cinta berarti menunjukkan kebaikan. Namun, mengapa mesti dilarang ?.”

Ketahuilah, bahwa cinta adalah sesuatu yang terpuji. Menunjukkan cinta juga perbuatan terpuji. Yang tercela adalah menunjukkan cinta dengan cara mengaku-aku diri dan arogan. Seorang pencinta hanya berhak untuk menjaga cintanya yang rahasia ke dalam perilaku dan seluruh keadaan dirinya, bukan ke dalam perilaku dan kata-katanya. Menunjukkan cinta hendaklah tidak dimaksudkan untuk memamerkan cinta atau memamerkan perilaku yang membuktikan rasa cinta. Menunjukkan cinta hendaklah dimaksudkan untuk memperlihatkan Sang Kekasih semata. Jika bermaksud untuk memperlihatkan selain Dia, maka itu berarti ia telah “syirik” dalam bercinta. Cinta semacam itu sangatlah tercela.

Indikasi lain dari kecintaan hamba kepada Allah SWT adalah intim dan rida.
Agama yang baik dan budi pekerti yang luhur secara keseluruhan merupakan buah nyata dari cinta. Cinta yang tidak membuahkan hal semacam itu berarti mengikuti hawa nafsu. Dan, ini jelas termasuk bagian dari budi pekerti rendah, hina dan tercela.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

No comments: