Thursday, April 24, 2008

Mengapa Tidak Boleh Mengatur ?

Syekh Al Ahmad Ibn Athailah Al Sakandari, Kitab Al Tanwir fi Isqath Al Tadbir, bab 3


Sebab Pertama

Pengetahuanmu tentang pengaturan Allah yang telah berlaku atas dirimu. Maksudnya, kau tahu bahwa Allah telah berbuat untukmu sebelum kau berbuat untuk dirimu. Sebelum kau ada dan sebelum kau ikut mengatur, Dia telah mengatur untukmu. Dan kini, setelah kau ada, Dia jugalah yang mengatur. Bersikaplah kepadaNya seperti sikapmu sebelumnya, tentu Dia akan memerhatikanmu seperti sebelumnya. Karena itu, Husain al Hallaj berkata, “berbuatlah kepadaku sebagaimana dulu Kau berbuat kepadamu sebelum aku ada.”Ia meminta kepada Allah untuk mengatur urusannya setelah ia ada sebagaimana dulu Dia mengatur sebelum ia ada. Sebelum keberadaannya, hamba telah diatur oleh ilmu Allah. Namun, setelah ada ia ingin mengatur dirinya sehingga akhirnya ia terlantar.

Engkau tahu bahwa kebaikanNya selalu meliputi dirimu. Kau tidak akan pernah terlepas dari karuniaNya. Jika kau ingin mengetahui penjelasan tentang perkembanganmu dari fase ke fase, perhatikan firman berikut ini :
“Kami menciptakan manusia dari saripati yang berasal dari tanah. Kemudian saripati itu Kami jadikan segumpal darah. Kemudian segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging. Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang. Lalu, tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Setelah itu, Kami jadikan ia makhluk yang berbentuk lain. Mahasuci Allah Pencipta yang paling baik. Selanjutnya, kalian akan benar-benar mati. Kemudian, pada hari kiamat nanti kalian akan dibangkitkan.” [QS Al Mukminun 12-16]

Liputan cahaya dan sinarNya begitu jelas. Wahai hamba, satu-satunya yang harus kau lakukan adalah menyerah dan bersandar kepadaNya. Dia melarangmu ikut campur mengatur dan menentukan.


Sebab Kedua

Pengaturan terhadap dirimu sendiri menunjukkan ketidaktahuanmu akan pengaturanNya yang baik kepadamu. Seorang mukmin mengetahui bahwa jika ia tidak ikut mengatur bersama Allah, Dia akan mengaturnya dengan baik sebagaimana firmanNya, “Siapa yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya.”Jadi, aturlah dirimu untuk tidak ikut mengatur dan mementingkan pengaturan dirimu sendiri. Tentang hal ini, firman Allah, “Masukilah rumah-rumah itu dari pintunya.” [QS Al Baqarah :189]. Dan pintu pengaturan Allah atas dirimu adalah “kau tidak ikut campur mengatur dirimu.”


Sebab Ketiga

Takdir dan ketentuan yang berlaku kerap kali tidak sesuai dengan pengaturanmu. Hanya sebagian kecil yang bertepatan dengan pengaturanmu. Orang berakal tidak akan membangun di atas landasan yang labil. Sebab, ketika bangunan dan rancanganmu telah selesai, ketentuan Tuhan akan menghancurkannya. Apabila pengaturanmu tidak bersesuaian dengan ketentuan Tuhan, apa manfaat pengaturannya ? semestinya kau menyerahkan seluruh pengaturan kepada zat yang menguasai segala ketentuan.

Ketika aku melihat ketentuan berlaku
Dengan pasti, tanpa ragu sedikit pun
Ku sandarkan seluruh diriku pada Penciptaku
Ku campakkan diriku bersama apa yang terjadi



Sebab Keempat

Allah SWT adalah pengatur seluruh kerajaanNya, baik yang di langit maupun di bumi, yang gaib maupun yang nampak. Sebagaimana kau telah menyerahkan pengaturan Arsy, Singgasana, langit dan bumi kepadaNya, serahkanlah pula pengaturan dirimu di alam ini kepadaNya. Dibandingkan seluruh alam ini, adamu sama seperti tiadamu, bagaikan tujuh lapis langit dan bumi dibandingkan dengan Singgasana Tuhan. Dan, jika dibandingkan dengan Arsy, singgasanaNya beserta tujuh lapis langit dan bumi adalah seperti kerikil kecil di hamparan padang pasir. Jadi, bagaimana mungkin kau mengagungkan posisimu di tengah hamparan kerajaanNya ?!?.

Perhatian dan pengaturanmu terhadap urusan dirimu menunjukkan ketidaktahuanmu tentang Allah SWT. Keadaanmu sama seperti yang difirmanakan Allah, “Mereka tidak mengenal Allah secara benar.” [QS Al An’am : 91]

Seandainya manusia mengenal Tuhannya, tentu ia malu untuk ikut mengatur bersamaNya. Kau berhasrat untuk ikut mengatur kaena kau terhijab dari Allah SWT. Sebab, ketika Dia tersingkap pada mata hati orang yang yakin, ia menyaksikan dirinya diatur bukan mengatur, ditentukan tidak ikut menentukan serta digerakkan bukan bergerak sendiri.

Sama halnya, para penghuni alam arwahpun menyaksikan kekuasaan Allah, kehendakNya, keterkaitan antara kekuasaanNya dan apa yang dikukasaiNya serta antara kehendakNya dan apa yang dikehendakiNya. Mereka juga melihat sia-sianya seluruh sebab dan upaya. Mereka bebas dari sikap mengaku dan mengatur karena mereka menyaksikanNyua dan berhadapan denganNya. Allah SWT berfirman, “Kami mewarisi bumi dan seluruh orang yang berada di atasnya. Hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.” [QS Maryam : 40]

Ayat di atas menjelaskan kesucian dan sikap amanah malaikat. Mereka tidak pernah mengaku-aku apa yang diberikan kepada mereka dan mereka tidak pernah bersandar pada diri mereka sendiri. Seandainya mereka bersikap demikian, tentu Allah akan berkata, “Kami mewarisi bumi dan langit.” Namun, penisbahan dan penghormatan mereka kepadaNya, serta rasa takut mereka terhadap keagunganNya menahan mereka untuk tunduk pada sesuatu selainNya. Nah, jika kau menerima pengaturanNya atas langit dan bumi, terimalah pengaturanNya atas dirimu.
“Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi lebih besar daripada penciptaan manusia.” [QS Al Mu’min : 57]


Sebab Kelima

Kau mengetahui bahwa dirimu adalah milik Allah. Dengan demikian, kau tidak berhak mengatur apa yang bukan milikmu. Engkau tidak bisa ikut campur mengatur apa yang tidak kau miliki [sebenarnya kau tidak punya apa-apa. Apa yang kau miliki adalah amanah dari Alalh. Kau tidak punya kepemilikan hakiki. Hanya saja, secara hukum lahir kau dianggap sebagai pemilik, meskipun tidak punya alasan yang layak].
Jadi, sangat tepat jika kau tidak ikut mengatur atas apa yang sesungguhnya milik Allah SWT. Apalagi, Allah SWT menegaskan, “Allah telah membeli dari orang beriman, jiwa dan harta mereka untuk diganti dengan surga.” [QS AtTaubah : 111]
Maka, setelah akad jual-beli, seorang hamba tidak layak mengatur. Apa yang telah kau jual harus kau serahkan dan kau tidak boleh lagi campur tangan di dalamnya. Jika kau ikut mengatur, akad jual-beli itu batal.


Sebab Keenam

Kau mengetahui bahwa kau sedang dijamu oleh Allah SWT. Pasalnya, dunia adalah rumah Allah. Kau hanya singgah di sana. Seorang tamu semestinya percaya kepada sang pemilik rumah.
Suatu ketika Syekh Abu Madya rahimahullah ditanya, “Tuan, kami melihat beberapa syekh sibuk bekerja dan mencari sebab dunia, kenapa Anda tidak ?”, ia menjawab, “Saudaraku, sadarilah bahwa dunia ini adalah rumah Allah. Kita adalah tamuNya. Dan Nabi SAW bersabda, ‘Jamuan [pada tamu] itu berlangsung selama tiga hari.’ Menurutku, kita dijamu oleh Allah selama tiga hari. Dan Allah SWT berfirman, ‘satu hari di sisi Tuhanmu seperti seribu tahun dalam perhitunganmu.’ Berarti kita dijamu oleh Allah selama tiga ribu tahun. Kehidupan kita di dunia termasuk dalam kurun waktu itu. Dia akan menyempurnakan lewat karuniaNya di negeri akhirat. Selebihnya adalah kekekalan.”

Sebab Ketujuh

Sesungguhnya Allah senantiasa mengurus segala sesuatu. Bukankah Dia telah berfirman, “Allah, tiada Tuhan selainNya Yang Maha Hidup dan Maha Tegak [terus-menerus mengurus seluruh makhlukNya].” [QS Al Baqarah : 255]
Allah SWT adalah satu-satunya pengatur di dunia dan akhirat. Dia mengatur di dunia dengan memberi rezeki dan karunia, serta mengurus di akhirat dengan memberi imbalan dan pahala. Apabila hamba mengetahui bahwa Allah tidak pernah berhenti mengurusnya, tentu ia akan menyerahkan kendali dan berserah diri kepadaNya. Dia akan mencampakkan dirinya di hadapan Allah seraya pasrah menetapi ketentuanNya.


Sebab Kedelapan

Tujuan dan akhir kehidupan seorang hamba adalah pengabdian, sebagaimana firman Allah SWT, “Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu.” [QS Al Hijr : 99]

Jika hamba telah memusatkan dirinya untuk memelihara ibadahnya, tentu ia tidak akan sempat mengatur dan memerhatikan dirinya. Jika kau tidak merisaukan pengurusan dirimu, Allah akan membuatmu tetap bersamaNya.

Syekh abu Al Hasan rahimahullah berkata, “ketahuilah bahwa dalam setiap ibadah yang kau lakukan, ada bagian Allah SWT yang dituntut darimu sesuai dengan rububiyahNya. Dia akan menuntut bagianNya dari setiap hamba, dan mereka akan ditanya tentangnya, serta tentang setiap tarikan napas yang merupakan amanah Allah. Karenanya, bagaimana mungkin ia punya waktu luang, sementara ia disibukkan oleh ibadah kepada Allah, bagaimana mungkin ia sempat mengatur dirinya dan memerhatikan kebutuhannya. Seorang hamba hanya bisa sampai kepada Allah jika ia tak lagi merisaukan dirinya, berzuhud, memusatkan perhatian untuk menaatiNya, mengarahkan pikiran agar sejalan denganNya, serta terus mengabdi dan berhubungan denganNya. Wahai yang telah berjalan menuju jalan keselamatan dan ingi berada disisiNya, kurangilah memerhatikan lahirmu, jika ingin batinmu terbuka bagi masuknya rahasia kekuasaan Tuhan.”


Sebab Kesembilan

Engkau adalah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba tidak boleh ragu kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan tidak pernah mengabaikan. Inti ibadah adalah percaya kepada Allah dan pasrah kepadaNya. Sikap itu berlawanan dengan hasrat ikut mengatur dan memilih bersama Allah. Seorang hamba harus mengabdi kepadaNya, dan Dia akan memberikan karunia untuknya. Pahamilah firmanNya, “Perintahkan keluargamu untuk shalat dan bersabarlah atasnya. Kami tidak meminta rezeki. Kamilah yang memberimu rezeki.” [QS Thaha : 132]
Maksudnya, mengabdilah kepada Kami, dan Kami akan terus memberi bagianmu.


Sebab Kesepuluh

Sesungguhnya engkau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap urusan. Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu. Mungkin ada keuntungan di balik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi bahaya datang dari kemudahan dan kemudahan datang dari bahaya.

Mungkin saja anugerah tersimpan dalam ujian dan cobaan tersembunyi dibalik anugerah. Dan bisa jadi kau mendapatkan manfaat lewat tangan musuh dan binasa lewat orang yang kau cintai. Orang yang berakal tidak akan ikut mengatur bersama Allah karena ia tidak mengetahui mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya.

Syekh Abu Al Hasan rahimahullah berkata, “Ya Allah, aku tidak berdaya menolak bahaya dari diri kami meskipun datang dari arah yang kami ketahui dan dengan cara yang kami ketahui. Lalu, bagaimana kami mampu menolak bahaya yang datang dari arah dan cara yang kami tidak ketahui ?!.”

Cukuplah untukmu firman Allah, “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal ia baik untuk kalian. Bisa jadi kalian mencintai sesuatu padahal ia buruk untuk kalian. Allah mengetahui, sementara kalian tidak mengetahui.”
Seringkali kau menginginkan sesuatu, namun Tuhan memalingkannya darimu. Akibatnya, kau merasa sedih dan terus menginginkannya. Namun, ketika akhir dan akibat dari apa yang kau hasratkan itu tersingkap, barulah kau menyadari bahwa Allah SWT melihatmu dengan pandangan yang baik dari arah yang tidak kau ketahui, dan memilihkan untukmu dari arah yang tidak kau ketahui. Sungguh buruk seorang hamba yang tidak paham dan tidak pasrah kepadaNya.

Sering ku hasratkan sesuatu, namun Kau telah memilihkannya untukku
PilihanMu senantiasa lebih baik, dan Kau teramat sayang kepadaku
Ku tekadkan diri untuk tak memerdulikan kata hati
Kecuali untuk mengagungkan dan memuliakanMu


Dan ku tekadkan diri agar Kau tak melihatku
Menjamah dan melakukan yang Kau larang
Karena dalam hatiku,
Kau teramat agung...



Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Tuesday, April 22, 2008

Berserah Diri dan Tidak Ikut Mengatur

Syekh Al Ahmad Ibn Athailah Al Sakandari, Kitab Al Tanwir fi Isqath Al Tadbir, bab 1

Allah SWT Berfirman, “Demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman hingga mereka berhukum kepadamu atas perkara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa berat menerima keputusanmu dan mereka menerima sepenuhnya.” [QS An nisaa’ : 65]

“Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Mereka tidak punya pilihan. Maha suci Allah dan Maha tinggi atas apa yang mereka sekutukan.” [QS Al Qashash : 68]

“Atau apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya ? (Tidak) hanya milik Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” [QS An Najm : 24 – 25]

Rasulullah SAW bersabda, “orang yang telah meridhai Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai nabinya, sungguh telah merasakan nikmat iman.”

Dalam hadist lain beliau bersabda, “sembahlah Allah dengan penuh kerelaan. Jika tidak bisa, kau akan mendapati kebaikan yang besar dalam kesabaranmu menerima apa yang kau benci.”

Seorang arif berkata,“siapa yang tidak ikut mengatur, [segala urusannya] akan diaturkan untuknya.”

Syekh Abu Al Hasan Al Syadzili r.a. berkata, “jika memang harus mengatur, aturlah untuk tidak ikut mengatur.” Beliau juga berkata, “jangan sekali-sekali ikut memilih dalam urusanmu. Pilihlah untuk tidak memilih. Larilah dari pilihanmu dan dari segala sesuatu menuju Allah SWT. Dialah yang menciptakan apa yang Dia kehendaki sekaligus memilihnya.”

QS An Nisaa’ ayat 65, “Demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman hingga mereka berhukum kepadamu atas perkara yang mereka perselisihkan ...” menunjukkan bahwa iman sejati hanya dapat diraih oleh orang yang sepenuhnya berhukum kepada Allah dan RasulNya, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam mengambil maupun meninggalkan, serta dalam mencintai maupun membenci. Seorang mukmin harus tunduk, termasuk dalam hukum taklif dan pengaturan.

Hukum taklif adalah berbagai perintah dan larangan yang berkaitan dengan usaha dan perbuatan hamba. Sementara pengaturan adalah ketentuan dan keinginan Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Jadi, hakikat iman hanya bisa diraih melalui dua hal, yaitu mengerjakan perintahNya dan menerima ketentuanNya.

Pada ayat tersebut di atas, Allah tidak hanya mengaitkan iman dengan kemestian untuk berhukum kepada Nabi SAW dan dengan kerelaan penuh untuk menerima segala keputusannya. Namun, Dia menekankan hal itu melalui sumpahNya dengan pemeliharaanNya yang khusus kepada Rasulullah SAW dalam bentuk kasih sayang, perhatian, pengistimewaan, dan penjagaan. Namun, “Demi Tuhanmu. Mereka tidak beriman hingga mereka berhukum kepadamu atas perkara yang mereka perselisihkan...” Kalimat ini menegaskan sumpah sekaligus isi sumpahNya, karena Allah mengetahui kecenderungan jiwa manusia untuk menang dan mencari pembelaan, baik ketika berada di pihak yang benar maupun salah. Ayat tersebut mengungkapkan perhatian dan pertolongan Allah kepada Rasulullah SAW. Allah menjadikan hukum Rasulullah sebagai hukumNya dan ketentuan Rasulullah sebagai ketentuanNya, maka Allah mewajibkan hamba untuk menerima dan mematuhi hukumnya. Seseorang dianggap mengimani terhadap ketuhananNya sebelum ia mematuhi hukum dan keputusan Rasulullah SAW.


Kelembutan Allah kepada Hamba ketika Datang KetentuanNya


Ketahuilah, jika Allah SWT hendak menguatkan hamba dalam menerima sesuatu yang Dia tetapkan atas dirinya, Dia akan menyelimutinya dengan cahaya sifatNya. Dengan begitu, liputan cahayaNya akan mendahului datangnya ketentuanNya. Karenanya, ia menggantungkan diri kepada Tuhan, tidak bersandar kepada dirinya, sehingga ia kuat dan bersabar memikul semua beban.

Liputan cahaya Tuhan membantu mereka menghadapi ketentuan

Datangnya cahaya menyingkapkan kepada si hamba betapa dekatnya Allah SWT, sehingga ia mengetahui bahwa segala ketetapan dan hukum berasal dariNya. Kesadaran bahwa hukum berasal dari Tuhan menjadi penghibur baginya sekaligus membuatnya bisa bersabar.
“Bersabarlah dalam menerima hukum Tuhanmu. Sesungguhnya kau berada dalam penglihatan Kami.” [QS Al Thur : 48]
Maknanya, hukum dan ketetapan itu berasal dari Tuhanmu yang begitu baik. Jika ia berasal dari selain Dia, niscaya kau akan merasa berat.

Karena Kaulah yang menguji dan memutuskan
Aku merasa ringan menghadapi segala kesulitan
Tak ada yang bisa mengubah ketentuan Allah
Dan tak ada seorang pun yang dapat memilih

Terbukanya pintu pemahaman membantu mereka menghadapi hukum Tuhan

Ketahuilah, jika Allah SWT menetapkan suatu hukum dan keputusan atas hambaNya, dan kemudian Dia membukakan pintu pemahaman tentangnya, berarti Dia hendak memikulkan hukum itu untuknya. Sebab, pemahaman tersebut membuatmu kembali kepada Allah, mendorongmu terus menuju kepadaNya, serta menjadikanmu bersandar kepadaNya. Allah SWT berfirman, “siapa yang bersandar kepada Allah, Dia akan mencukupinya.” [QS Al Thalaq : 3]. Pemahaman tentang Allah merupakan sebab utama seseorang bisa bersabar.

Sampainya anugerah Tuhan membantu mereka menghadapi ujian

Pemberian Tuhan yang telah kau terima mengingatkanmu kepadaNya, sehingga kau lebih siap menerima hukum dan ketetapanNya. Sebagaimana Dia telah menetapkan untukmu sesuatu yang kau sukai, maka kau juga harus bersabar menghadapi sesuatu yang Dia sukai. Bukankah Allah telah berfirman, “Mengapa ketika kamu ditimpa musibah [dalam Perang Uhud], padahal kamu telah mengalahkan musuh dua kali, kau berkata, “dari mana datangnya kekalahan ini ?.” [QS Ali Imran : 165]
Allah menghibur ketika mereka mengalami kekalahan dengan kemenangan yang pernah mereka dapatkan. Kemenangan itu merupakan pemberian terdahulu. Kadang-kadang datangnya ujian disertai dengan sesuatu yang meringankan hamba yang dekat kepadaNya. Misalnya, Dia menyingkapkan kepadanya besarnya pahala yang Dia siapkan untuknya di balik ujian tadi atau Dia menanamkan keteguhan dan ketenangan ke dalam hatinya. Dia melimpahkan kelembutan dan karunia kepadanya.

Kesadaran akan baiknya pilihan Tuhan membuat mereka kuat menghadapi takdirNya

Jika hamba telah menyadari baiknya pilihan Allah SWT untuknya, ia akan merasa yakin bahwa Dia tidak menghendaki hambaNya menderita, karena Dia Maha Penyayang. Allah berfirman, “Dia Maha Penyayang kepada orang beriman.” [QS Al Azhab : 43]
Allah terkadang menakdirkan pelbagai penderitaan untuk seseorang demi karunia dan anugerah yang akan datang sesudahnya. Bukankah Allah telah berfirman, “orang-orang yang bersabar akan disempurnakan balasan mereka tanpa hisab.”

Seandainya Allah SWT membiarkan hambaNya menjalani pilihan mereka sendiri, tentu mereka tidak akan mendapatkan karuniaNya dan tidak bisa masuk ke surgaNya. Segala puji bagi Allah atas pilihanNya yang baik. Allah berfirman, “Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal ia baik bagi kalian. Dan boleh jadi kalian menyenangi sesuatu, padahal ia buruk bagi kalian.”
Syekh Abu Al Hasan rahimahullah berkata, “ketahuilah, Allah SWT tidak memberimu bukan karena Dia pelit. Akan tetapi, Dia tidak memberimu karena menyayangimu. Jadi, penahanan oleh Allah sejatinya merupakan pemberian. Namun, hanya orang yang shiddiq [benar] yang mengetahuinya.”

Pengetahuan bahwa Allah SWT melihat, membuat mereka bisa bersabar menghadapi berlakunya semua ketetapan. Sebab, kesadaran hamba bahwa Allah SWT mengetahui ujian yang menimpanya akan membuatnya merasa ringan menghadapi ujian. Bukankah Allah telah berfirman, “bersabarlah menerima hukum Tuhanmu. Sesungguhnya engkau berada dalam penglihatan Kami.” [QS Al Thur : 48]

Tampaknya Allah SWT dengan segala keindahanNya membuat mereka bersabar atas segala perbuatanNya. Sebab, jika Allah SWT tampak pada seorang hamba, tentu ia tidak akan merasakan beratnya ujian. Ia dapat menahan beban ujian karena nikmatnya penampakan yang ia rasakan. Bahkan mungkin ia sama sekali tidak merasa sakit.

Pengetahuan bahwa sabar akan mendatangkan ridha Allah SWT membuat mereka bersabar menerima ketentuanNya. Sebab, sabar menerima ketentuan Allah akan mendatangkan ridhaNya. Karena itulah mereka rela memikul beban ujian. Mereka mengharapkan ridhaNya. Sama seperti orang yang menahan pahitnya obat karena ingin sembuh.

Tersingkapnya hijab membuat mereka bisa bersabar menghadapi ketetapanNya. Sebab, apabila Allah SWT hendak meringankan beban atas seorang hamba, Dia mengangkat tirai yang menutupi mata hatinya sehingga ia bisa melihat betapa dekatnya Allah SWT. Nikmat kedekatan itu membuatnya melupakan pedihnya ujian. Seandainya Allah SWT tampak pada penduduk neraka lewat keindahan dan kesempurnaanNya, tentu mereka melupakan siksa. Sebaliknya, seandainya Dia terhijab dari penduduk surga, tentu mereka tidak merasakan nikmatnya surga. Jadi, siksa adalah turunnya hijab yang menutupiNya. Bentuknya bermacam-macam. Sebaliknya, nikmat adalah terangkatnya hijab sehingga Dia nampak dan tersingkap. Bentuknya pun beragam.

Kesadaran akan adanya rahasia ketentuanNya menguatkan mereka memikul beban kewajiban. Sebab, beban kewajiban begitu berat dirasakan oleh seorang hamba. Ia harus melaksanakan semua perintah, menahan diri dari semua larangan, bersabar atas segala ketetapan, serta bersyukur ketika mendapat kenikmatan. Jadi, beban kewajiban itu berlaku dalam empat keadaan, yaitu : ketaatan, kemaksiatan, kenikmatan dan ujian. Pada setiap bagian dari keempatnya, kau wajib beribadah kepada Allah sesuai dengan rububiyahNya.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam ketaatan adalah merasakan karuniaNya.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam kemaksiatan adalah meminta ampunan atas kelalaianmu.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam ujian adalah bersabar bersamaNya.
HakNya yang menjadi kewajibanmu dalam kenikmatan adalah bersyukur.
Melalui pemahaman, kau dapat melaksanakan semua itu dengan ringan. Jika kau memahami bahwa ketaatanmu itu akan kembali kepadamu dan bermanfaat untukmu, tentu kau bisa bersabar ketika melaksanakannya.

Pengetahuan tentang kelembutan dan kebaikan Allah SWT dalam segala ketetapanNya membuat mereka dapat bersabar menetapi semua takdirNya. Sebab, Allah SWT telah menyisipkan kelembutanNya dalam berbagai hal yang dibenci. Dalam ujian, sakit dan kesulitan, ada kelembutanNya yang rahasia, yang hanya dapat dipahami oleh orang yang memiliki mata hati. Bukankah ujian bisa melunakkan dan menjinakkan nafsu sehingga ia tak lagi menggebu meminta bagiannya. Bersama ujian ada kelemahan dan kehinaan. Dan bersama kelemahan terdapat pertolongan.

Sepenuhnya Menerima

“Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih. Mereka tidak punya pilihan. Maha suci Allah dan Maha tinggi atas apa yang mereka sekutukan.” [QS Al Qashash : 68]
Ayat tersebut mengandung beberapa pengertian. Penggalan ayat “Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih” mengandung kemestian bagi hamba untuk tidak ikut mengatur bersama Allah. Sebab, jika Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, berarti Dia pun mengatur sesuai dengan kehendakNya. Jadi, yang tidak mencipta, tak berhak mengatur.

Allah SWT berfirman, “apakah [Allah] yang menciptakan sama dengan yang tidak menciptakan ? apakah kalian tidak mengambil pelajaran.” [QS Al Isra’ : 17]

Ungkapan “Dia memilih” artinya, hanya Dia yang memilih dan tak ada sesuatupun yang memaksaNya berbuat. Dia senantiasa berada dalam keadaan Berkehendak dan Memilih. Karena itu, penggalan ayat itu meniscayakan hamba untuk tidak ikut mengatur dan memilih bersama Allah SWT. Apa yang menjadi milikNya, tak layak menjadi milikmu.

Sementara itu penggalan ayat “mereka tidak punya pilihan” mengandung dua pengertian. Pertama, mereka tidak layak memilih dan merasa lebih berhak daripada Allah SWT. Kedua, mereka tidak punya pilihan. Dengan kata lain, Kami tidak memberikan pilihan itu kepada mereka dan tidak membuat mereka lebih berhak atasnya.

Kemudian penggalan ayat “Mahasuci dan Mahatinggi Allah atas apa yang mereka persekutukan” menegaskan bahwa hanya Allah yang memilih dan bahwa mereka tidak bisa ikut memilih bersamaNya. Ayat itu menjelaskan bahwa siapapun yang merasa dapat memilih bersama Allah berarti telah musyrik, karena mengaku punya hak rububiyah.

Ayat “Atau apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya ? (Tidak) hanya milik Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia” [QS An Najm : 24 – 25] mengandung petunjuk untuk tidak ikut mengatur bersama Allah. “Apakah manusia akan mendapatkan semua yang diinginkannya?”, tentu saja tidak. Sebab, Kami tidak menguasaka hal itu kepadanya. Akhir ayat, “hanya milik Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia”, mengharuskan hamba untuk tidak ikut mengatur bersama Allah SWT.

Maksudnya, jika kehidupan akhirat dan kehidupan dunia kepunyaan Allah, manusia tidak punya hak apapun atas keduanya. Karena itu, tidak selayaknya ia mengatur di kerajaan milik Allah, bukan miliknya. Hanya pemiliknya yang berhak mengatur di kedua negeri itu, Allah SWT.

Nabi SAW berkata, “orang yang telah meridhai Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad SAW sebagai nabinya, sungguh ia telah merasakan nikmat iman.” Hadist ini menunjukkan bahwa orang yang berada di luar ketentuan itu, berarti tidak pernah merasakan manisnya iman, karena imannya hanya rupa tanpa nyawa. Lahir tanpa hakikat.

Hadist tersebut menunjukkan bahwa hati yang bersih dari penyakit lalai dan nafsu akan menikmati lezatnya pelbagai hakikat, selayaknya tubuh yang menikmati lezatnya makanan. Hanya orang yang rela Allah sebagai Tuhannyalah yang bisa merasakan nikmat iman. Sebab, ketika ia ridha, ia pasrah kepadaNya, mematuhi ketetapanNya, serta menyerahkan kendali kepadaNya, tidak ikut mengatur dan memilih, serta selalu menerima aturan dan pilihan terbaikNya. Ketika itulah, ia merasakan nikmatnya hidup dan lezatnya kepasrahan.

Ketika ia ridha Allah sebagai Tuhannya, ia pun mendapatkan ridha Allah. Allah berfirman, “Allah ridhai kepada mereka dan mereka pun ridha kepadaNya.”
Apabila ia telah ridha kepada Allah, Allah akan memberinya nikmat keridhaan agar ia mengetahui karunia dan anugerahNya untuknya.

Berkat pemahaman, ridha kepada Allah terwujud
Hanya melalui cahaya, pemahaman akan terwujud
Hanya melalui kedekatan, cahayamu akan memancar
Dan hanya berkat pertolongan, kedekatan akan tersingkap


Ketika hamba mendapatkan pertolongan, ia mendapatkan pemberian dari khazanah karuniaNya. Hatinya bersih dari segala penyakit berkat karunia dan cahaya Allah. Dengan begitu ia memiliki daya tangkap yang sehat, sehingga bisa merasakan lezat dan nikmat iman.

Jika saja hatinya sakit karena melalaikan Allah, tentu ia tidak akan merasakannya. Sama halnya, orang yang demam akan merasakan gula itu pahit. Apabila penyakit hati telah lenyap, ia bisa merasakan segala sesuatu seperti aslinya. Ia dapat merasakan nikmatnya iman, lezatnya ketaatan serta pahitnya pembangkangan. Karena tahu bahwa iman itu manis, ia menyenanginya, menyadari karunia Allah di dalamnya, serta mencarai berbagai cara untuk menjaganya. Selain itu, ia dapat merasakan lezatnya ketaatan, terus memeliharanya dan menyaksikan karunia Allah kepadanya.

Di sisi lain, karena tahu bahwa kekufuran dan pengingkaran itu pahit, ia tidak menyukainya dan selalu berusaha menjauhinya. Keadaan itu mendorongnya untuk meninggalkan dosa dan berpaling darinya. Kendati demikian, tidak setiap yang meninggalkan akan berpaling. Ia bisa bersikap seperti itu karena cahaya bashirah menunjukkan kepadanya bahwa membangkang dan melalaikan Allah adalah racun yang akan membinasakan hati. Jauhilah penentangan dan kekufuran sebagaimana kau menghindari makanan beracun.

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Sunday, April 6, 2008

Bukti Cinta Hamba kepada Allah

Kitab Al Mahabbah wa al Syawq wa al Uns wa al Ridha, bab 11, Syekh Hujjatul Islam Abu Muhammad Al Ghazali, 450 – 505 H


Siapapun dapat mengaku cinta. Alangkah mudahnya mengaku cinta. Padahal, makna cinta begitu agung. Hati-hati jangan sampai orang yang mengaku mencintai Allah tertipu bisik muslihat diri sendiri dan upaya pengaburan yang dilakukan setan. Cinta harus diuji terlebih dahulu dengan beberapa indikasi. Cinta mesti ditunjukkan lewat bukti-bukti nyata. Cinta adalah sebatang pohon yang indah. Akarnya tertancap di bumi, cabangnya menjulang sampai ke langit, dan buahnya menyebar di hati, di mulut, dan semua organ tubuh lainnya. Jejak-jejak cinta yang membekas di hati dan semua organ tubuh itu seperti asap menunjukkan api dan seperti buah menunjukkan pohon.

Indikasi-indikasi kecintaan hamba kepada Allah itu banyak, di antaranya dipaparkan berikut ini.

Indikasi pertama, kecintaan dia untuk bertemu dengan Kekasih tercinta melalui penyingkapan tabir dan penyaksian langsung. Sebab, kalbu yang sungguh-sungguh mencintai Kekasihnya pasti menginginkan perjumpaan dan penyaksian. Ketika ia tahu bahwa untuk itu ia harus pergi meninggalkan dunia melalui pintu kematian, mestinya ia juga mencintai kematian, bukan malah lari menjauh darinya. Seorang pencinta tidak akan merasakan berat perjalanan dari negerinya menuju tempat Kekasihnya semata untuk bertemu dan melihatnya. Bukankah “kematian” adalah kunci perjumpaan ? ia juga pintu masuk menuju penyaksian.

Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim melalui jalur Abu Hurairah dan Aisyah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja mencintai pertemuan dengan Allah, maka pasti Allah juga mencintai pertemuan dengannya.”

Abu Bakar AsSiddiq berwasiat kepada Umar, “Kebenaran itu berat, tapi menyenangkan. Sebaliknya, kebatilan itu ringan, tetapi menyengsarakan. Jika kamu menjaga wasiatku ini, maka tidak ada yang lebih kamu cintai dibandingkan kematian yang sudah pasti mengenalmu. Namun, jika kamu abaikan wasiatku ini, niscaya tidak ada yang lebih kamu benci dibandingkan kematian itu. Mesti pasti kamu tidak akan bisa menaklukannya.”

Jika ada yang bertanya, “Mungkinkah orang yang tidak mencintai kematian dapat disebut orang yang mencintai Allah ?.” Orang membenci kematian boleh jadi karena mencintai dunia, atau karena sedih berpisah dengan anak-anak, keluarga, atau harta bendanya. Ini jelas menghilangkan kesejatian cintanya kepada Allah SWT. Sebab, cinta sejati menenggelamkan semesta hati. Namun, kalau cinta kepada anak dan keluarga itu masih ada, maka itu berarti aib yang menunjukkan lemahnya kecintaan orang itu kepada Allah SWT. Pada dasarnya, manusia memang berbeda-beda kualitas cintanya.
Faktor kedua yang menyebabkan orang membenci kematian adalah bahwa orang itu masih berada di tahap-tahap awal mencintai Allah. Yang ia benci bukan soal kematiannya, tetapi kedatangannya yang begitu cepat sebelum ia benar-benar siap bertemu Allah SWT. Ini tidak menunjukkan lemahnya kecintaannya kepada Allah. Ia dapat diumpamakan seperti seorang kekasih yang mendengar kabar bahwa kekasihnya akan datang menemuinya. Ia ingin kedatangannya ditunda sesaat agar ia dapat mempersiapkan rumah dan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyambutnya. Ia ingin bertemu dengan Kekasihnya sesuai impian dan harapannya, dengan hati lega, tanpa beban, dan tanpa kesibukan. Kebencian dengan alasan yang jelas tidak menghilangkan kesejatian cinta sama sekali. Jadi, kecintaan kepada Allah diindikasikan oleh kesungguhan beramal dan totalitas kemauan untuk mempersiapkan diri bertemu denganNya.

Indikasi kedua, hamba itu memprioritaskan apa yang dicintai Allah dibandingkan dengan apa yang dicintai dirinya sendiri, baik secara lahir maupun secara batin. Oleh karena itu, ia pasti bersusah payah untuk terus beramal, tidak menuruti keinginan hawa nafsu, dan meninggalkan sikap bermalas-malasan. Ia senantiasa tegar dan berupaya maksimal untuk taat kepada Allah SWT, berusaha mendekatkan diri kepadaNya melalui amalan-amalan sunah, dan mencari peringkat istimewa di sisiNya, sebagaimana seorang kekasih ingin selalu bertambah dekat di hati kekasihnya.

Allah juga menegaskan bahwa orang yang mencintaiNya pasti mendahulukan apa yang dicintainya : “Mereka mencintai orang yang berhijrah dalam hati mereka kepada Mereka. Mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap segala yang diberikan kepada mereka [orang Muhajirin]. Mereka mengutamakan [orang-orang Muhajirin] atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan [apa yang mereka berikan itu].” [QS Al Hasyr : 9].

Orang yang terus-menerus menurut keinginan Kekasihnya, maka apa yang dia cintai adalah apa yang diinginkan oleh Kekasihnya. Bahkan, ia tidak akan memperdulikan keinginan dirinya sendiri demi memenuhi keinginan Kekasihnya. Ketika cinta menguasai seluruh wilayah nafsu, tak ada lagi kenikmatan selain Kekasih Tercinta. Namun demikian, tidak semua orang yang taat kepada Allah SWT bisa disebut sebagai kekasihNya. Hanya orang-orang yang menjauhi larangan-laranganNya yang pantas menyandang predikat sebagai kekasihNya.

Apabila Allah SWT telah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menolong dan melindunginya dari musuh-musuhnya, yaitu dirinya sendiri dan hawa nafsunya. Dia tidak akan membiarkan hamba itu terlantar dan kelelahan menghadapi hawa nafsunya. Oleh karena itu, Allah berfirman “Allah lebih mengetahui [daripada kamu] tentang musuh-musuhmu. Cukuplah Allah menjadi Pelindung [bagimu]. Cukuplah Allah menjadi Penolong [bagimu].” [QS An Nisaa : 45].

Salah seorang arif berkata, “apabila keimanan hanya melingkar-lingkar di hati bagian luar, maka itu berarti orang yang bersangkutan mencintai Allah SWT setengah hati saja. Namun, apabila keimanan itu menghujam jauh ke lubuk hati terdalam, maka itu berarti ia mencintaiNya secara maksimal dan akan meninggalkan kemaksiatan.”

Indikasi ketiga adalah membiarkan dirinya terus berzikir mengingat Allah SWT.
Tak pernah kelu lidahnya menyebut AsmaNya. Tak pernah sunyi hatinya dari mengingatNya. Orang yang mencintai sesuatu pasti akan selalu menyebut dan mengingat sesuatu itu berikut apa saja yang mempunyai hubungan dengannya. Oleh karenanya, indikasi bahwa seseorang itu mencintai Allah adalah mencintai zikir atau mengingatNya, mencintai Al Qur’an sebagai firmanNya, mencintai Rasulullah SAW dan mencintai orang yang memiliki nasab dengan beliau.

Orang yang hatinya diliputi kecintaan kepada Allah SWT pasti juga mencintai makhluk seluruhnya, karena mereka adalah makhlukNya. Lebih-lebih mencintai Al Qur’an, Rasulullah dan orang-orang shaleh. Rasulullah SAW bersabda “Cintailah Allah karena nikmat yang Dia berikan padamu. Dan, cintailah aku karena Allah SWT.”

Menurut Sufyan Al Tsawri, “Siapapun yang mencintai orang yang mencintai Allah, maka itu berarti ia telah mencintai Allah. Siapa saja yang memuliakan orang yang memuliakan Allah, maka itu berarti ia telah memuliakan Allah.”

Sahl, smoga rahmat Allah SWT tercurah padanya, berkata, “Indikasi kecintaan kepada Allah adalah mencintai Al Qur’an. Indikasi kecintaan kepada Allah dan Al Qur’an adalah mencintai Nabi Muhammad SAW. Indikasi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW adalah mencintai sunah. Indikasi kecintaan kepada sunah adalah mencintai akhirat. Indikasi kecintaan kepada akhirat adalah membenci dunia. Indikasi kebencian kepada dunia adalah tidak mengambilnya lebih dari sekedar bekal yang dibutuhkan menuju akhirat”

Indikasi lainnya adalah bersenang-senang dengan cara berkhalwat, bermunajat kepada Allah SWT dan membaca kitabNya.
Seseorang yang mencintai Allah pasti tekun melakukan tahajud. Ia menjadikan waktu hening dan malam yang tenang sebagai kesempatan baik tanpa banyak menghadapi rintangan. Peringkat paling rendah adalah merasa nikmat menyendiri bersama Sang Kekasih dan bermunajat kepadaNya. Siapa saja yang merasa lebih nikmat tidur dan bercakap-cakap dibandingkan dengan bermunajat, bagaimana ia bisa dikatakan mencintai Allah ?.
Diriwayatkan bahwa ada seorang hamba menyendiri beribadah kepada Allah SWT di dalam sebuah semak belukar begitu lama. Suatu ketika ia melihat seekor burung bersarang di cabang sebuah pohon. Lalu ia mendekat dan bersiul-siul di sekitar pohon itu, ia berpikir “kalau saja ku pindahkan masjidku ke pohon itu, niscaya aku dapat bersenang hati menikmati siul burung itu.” Ia pun lalu benar-benar melakukannya. Lalu, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi di jaman itu, “Katakan pada si Fulan yang tengah beribadah padaKu itu, ‘kamu telah merasa senang dengan makhlukKu. Sungguh, Aku akan menurunkan kamu ke suatu peringkat yang tidak akan pernah dicapai oleh sedikitpun dari amalmu selamanya.”

Kalau demikian, maka kecintaan kepada Allah diindikasikan dengan keintiman bermunajat kepada Sang Kekasih, kenikmatan berkhalwat denganNya, dan perasaan takut terhadap segala hal yang mengganggu kesempurnaan khalwatnya dan kenikmatan munajatnya. Indikasi keintiman adalah tenggelamnya akal dan pikiran dalam kenikmatan munajat, seperti sedang bercakap-cakap dan membisikkan hati kepadaNya.

Abu Bakar Al Siddiq berkata, “siapa saja yang mencicipi kemurnian cinta kepada Allah, maka itu akan menyibukkannya dari mencari dunia. Itu juga akan membuatnya merasa sama sekali tidak memerlukan manusia seluruhnya.”

Allah menurunkan wahyu kepada Daud AS, “banyak orang mengaku cinta kepadaKu, padahal sebenarnya bohong belaka. Bagaimana tidak, ketika malam mulai kelam, ia malah tidur meninggalkan Aku. Bukankah orang yang mulai jatuh cinta ingin selalu berjumpa dengan Kekasihnya ? inilah Aku ! Aku hadir di hadapan orang-orang yang mencariKu.”

Musa AS pernah bertanya kepada Allah, “Wahai Tuhanku, dimanakah Engkau ? aku bermaksud menuju Engkau.” Lalu Allah berfirman, “Jika kamu sudah bermaksud menuju Aku, maka itu berarti kamu telah sampai padaKu.”

Yahya Ibn Mu’adz juga berkata, “siapa saja yang mencintai Allah, maka ia pasti membenci dirinya.” Menurut Yahya pula, siapa saja yang tidak memiliki tiga hal ini, maka itu berarti ia tidak cinta padaNya. Pertama, lebih mengutamakan firman Allah SWT dibandingkan dengan ucapan manusia. Kedua, lebh mengutamakan bertemu Allah SWT dibandingkan dengan bertemu makhluk. Ketiga, lebih mengutamakan ibadah dibandingkan berkhidmat kepada makhluk.

Indikasi cinta yang lain adalah tidak menyesal jika ada sesuatu selain Allah SWT yang terlewati. Sebaliknya, ia benar-benar menyesal ketika sedetik berlalu tanpa zikir mengingat Allah SWT dan mematuhiNya. Ketika lalai, ia segera kembali kepada Allah SWT dan memperbanyak permohonan agar dikasihani dan diridhai. Ia juga segera bertobat kepadaNya.

Indikasi lain kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT adalah merasa nikmat dalam taat. Ia tidak merasa berat dan tidak merasa letih dalam taat.

Al Junaid juga menegaskan bahwa indikasi cinta adalah selalu giat dan tekun melawan hawa nafsu. Fisik boleh lelah, tapi hati tak pernah lelah. Sufi yang lain berkata, “beramal atas dasar cinta takkan pernah diliputi rasa letih.” Senada dengan ini, sebagian ulama bertutur, “tak habis-habisnya orang yang mencintai Allah SWT berbuat taat, walaupun harus menghadapi berbagai rintangan besar.”

Indikasi selanjutnya adalah mengasihi dan menyayangi seluruh makhluk Allah, juga keras terhadap musuh-musuh Allah SWT dan setiap orang yang melakukan perbuatan yang tidak disukai Allah SWT. Pencinta sejati pasti tidak peduli dengan kecaman orang lain. Tidak ada yang dapat membungkam kemarahannya di jalan Allah SWT.

Para kekasih Allah SWT yang demikian itu dilukiskanNya dalam firmanNya, “mereka begitu lengket cintanya, sebagaimana bayi lengket dengan mainannya. Mereka melindungi diri dengan berzikir dan mengingatKu, sebagaimana burung nazar melindungi sarangnya. Mereka berang terhadap perbuatan haram, sebagaimana singa mengaung ketika marah besar. Mereka tidak akan peduli apakah musuh-musuh itu sedikit atau banyak”

Indikasi lain kecintaan hamba kepada Allah SWT adalah cintanya bercampur rasa takut, juga merasa kecil dibawah wibawa dan keagungan Allah SWT.
Mungkin orang mengira cinta dan takut adalah dua kata yang berlawanan. Padahal, sebenarnya tidak. Bahkan, keagunganNya menimbulkan wibawa, sebagaimana keindahan menimbulkan rasa cinta. Namun, bagi para pencinta, perasaan takut pada tingkatan cinta berbeda dengan yang ada pada bukan pencinta.

Perasaan takut itu sendiri tidak sama tingkatannya antara sesama pencinta. Sebagian lebih dahsyat dibandingkan dengan yang lain.

Tingkatan pertama adalah takut berpaling dari Allah SWT.
Tingkatan kedua adalah takut tabir tertutup.
Tingkatan ketiga adalah takut diusir dan dijauhkan dari Alah SWT.


Perasaan takut disingkirkan dan dijauhkan dariNya itu jelas hanya mencemaskan hati mereka yang sudah biasa berdekatan dan sudah mencicipi nikmatnya berdekatan denganNya. Tak heran bila pembicaraan tentang mereka yang dijauhkan dari Allah terdengar sumbang bagi mereka yang benar-benar sudah dekat dengan Allah. Dan, sudah barang tentu, orang yang terbiasa jauh dari Allah tidak akan merasa rindu untuk berdekatan denganNya. Begitu pula orang-orang yang tidak pernah berdekatan dengan Allah. Mereka pasti tidak akan menangis karena takut dijauhkan dariNya. Bahkan, mereka takut untuk berdiri dihadapanNya dan tak ingin bertambah dekat denganNya.

Tingkatan takut yang keempat adalah takut kehilangan kembali sesuatu yang belum ia ketahui.

Tingkatan takut yang kelima adalah takut lupa pada Allah SWT. Seorang pencinta mesti tercekam kerinduan dan secepat kilat melakukan pencarian. Tak lelah ia mengupayakan agar dirinya bertambah dekat denganNya. Ia tidak akan lalai dan melupakanNya kecuali ada sesuatu yang secara halus mengganggunya. Kalau ia sampai melupakanNya, maka itu akan menyebabkan ia berhenti dan bahkan kembali. Bisa saja ia melupakanNya tanpa terasa, sebagaimana cinta menyelinap begitu saja ke dalam dirinya juga tanpa terasa. Perubahan seperti itu terjadi disebabkan oleh rahasia langit yang tak bisa diungkap oleh kekuatan manusia. Jika Allah menghendaki ia mundur dan menjauh secara perlahan-lahan, maka Dia akan membuatnya lalai dan lupa secara samar. Ia tidak menyadari bahwa ia telah melupakanNya. Ia lalu berhenti menghaturkan harapan-harapan kepada Allah. Ia tertipu oleh pandangan bahwa dirinya baik-baik saja. Ia juga dikuasai oleh kelalaian dan hawa nafsu. Semua itu merupakan bala tentara setan yang telah mampu menaklukan bala tentara malaikat, berupa ilmu, akal, zikir dan hal-hal yang sudah jelas dari Allah SWT.

Beberapa sifat Allah menuntut timbulnya kecintaan yang semakin berkorbar, seperti sifat kelembutan, kasih sayang dan kebijaksanaanNya. Sebagian lagi ada sifat Allah yang menimbulkan kelalaian dan lupa diri, seperti sifat keperkasaan, kemuliaan dan kemandirianNya. Itu merupakan awal bagi kemunduran, penderitaan dan penyesalan diri.

Tingkatan takut yang keenam adalah takut kecintaannya bergeser : dari cinta kepada Allah menjadi cinta kepada yang lain. Ini jelas sangat tidak disukai dan sangat dibenci. Pergeseran cinta itu terjadi diawali oleh kelalaian mengingat Allah, sedangkan kelalaian mengingat Allah diawali oleh sikap berpaling dari Allah dan terbentangnya tabir penghalang antara dia dan Allah. Sikap berpaling dan terbentangnya tabir itu diawali oleh perasaan tertekan untuk berbakti kepada Allah, tidak memiliki semangat untuk selalu berzikir mengingat Allah, dan jemu untuk melalukan wiridan. Lebih jauh lagi, apabila gejala-gejala seperti itu sudah nampak, maka ini menjadi indikasi terjadinya pergeseran posisi : dari posisi kecintaan kepada Allah ke posisi kebencian kepadaNya. Na’udzubillahiminh zalik... mudah-mudahan kita dilindungiNya dari hal tersebut.

Komitmen yang tinggi untuk senantiasa merasa takut terhadap hal-hal yang telah disebutkan di atas serta mewaspadainya dengan penuh hati-hati melalui ketulusan beribadah merupakan bukti nyata kesejatian cinta. Sebab, orang yang mencintai sesuatu pasti takut kehilangan sesuatu itu.

Salah seorang arif menasihati, “Siapa saja yang menyembah Allah SWT dengan rasa cinta semata, tanpa disertai rasa takut juga, maka ia akan binasa akibat terlalu gembira dan leluasa. Siapa saja yang menyembah Allah dengan rasa takut semata, tanpa disertai rasa cinta juga, maka ia akan berhenti beribadah karena ketakutan yang berlebihan, atau karena jaraknya berjauhan. Siapa saja yang menyembah Allah dengan rasa cinta dan rasa takut sekaligus, maka ia akan dicintai oleh Allah SWT, didekatkan kepadaNya, ditempatkan di sisiNya, dan dikaruniai berbagai ilmu dariNya.”

Jadi, orang yang mencinta Allah SWT tidak bisa lepas dari perasaan takut. Demikian pula sebaliknya, orang yang takut kepada Allah SWT tidak bisa lepas dari perasaan cinta. Orang yang dikuasai perasaan cinta secara berlebihan, pasti perasaan takut hanya segelintir saja. Ia memang dikatakan berada di maqam cinta dan dalam komunitas para pencinta. Perasaan takut yang tersisa hanya sedikit saja itu dapat menenangkan dirinya dari kemabukkan cinta. Namun, kalau cinta sudah mengalahkan segala yang ada dalam dirinya dan makrifat sudah menguasainya, maka itu sudah di luar batas kemampuan manusia. Perasaan takut hanyalah untuk mengimbangi perasaan cinta dan meringankan pegaruhnya terhadap hati.

Indikasi selanjutnya dari kecintaan seorang hamba kepada Allah SWT adalah merahasiakan kecintaannya, tidak mengaku-ngaku dan bersikap hati-hati untuk tidak membeberkan perasaan dan kecintaannya, demi memuliakan, mengagungkan dan menghormati Sang Kekasih serta menjaga semangat kerahasiaannya.
Sebab, cinta adalah bagian dari rahasia Sang Kekasih. Pengakuan cinta kadang melewati batas makna sejatinya dan melebihi apa yang sebenarnya. Ini termasuk perbuatan yang dibuat-buat, yang akan mendapat sanksi besar kelak di akhirat dan mendapat cobaan berat di dunia.

Suatu kali Dzu Al Nun menjumpai salah seorang rekannya yang menyebut dirinya mencintai Allah dan mendapat suatu cobaan. Dzu Al Nun berkata pada rekannya itu, “tidak bisa disebut mencintai Allah, orang yang masih merasakan sakitnya penderitaan dariNya.” Rekannya itu pun menjawab, “aku juga mau mengatakan bahwa tidaklah mencintaiNya orang yang tidak merasa nikmat dengan derita dariNya.” Dzu Al Nun berkata lagi, “aku juga mau mengatakan bahwa tidaklah mencintaiNya orang yang menyebut-nyebut diri mencintaiNya.” Lalu rekannya itu berkata, “astagfirullah.. aku bertobat padaMu ya Allah.”

Jika ada yang bertanya, “cinta adalah maqam puncak. Menunjukkan cinta berarti menunjukkan kebaikan. Namun, mengapa mesti dilarang ?.”

Ketahuilah, bahwa cinta adalah sesuatu yang terpuji. Menunjukkan cinta juga perbuatan terpuji. Yang tercela adalah menunjukkan cinta dengan cara mengaku-aku diri dan arogan. Seorang pencinta hanya berhak untuk menjaga cintanya yang rahasia ke dalam perilaku dan seluruh keadaan dirinya, bukan ke dalam perilaku dan kata-katanya. Menunjukkan cinta hendaklah tidak dimaksudkan untuk memamerkan cinta atau memamerkan perilaku yang membuktikan rasa cinta. Menunjukkan cinta hendaklah dimaksudkan untuk memperlihatkan Sang Kekasih semata. Jika bermaksud untuk memperlihatkan selain Dia, maka itu berarti ia telah “syirik” dalam bercinta. Cinta semacam itu sangatlah tercela.

Indikasi lain dari kecintaan hamba kepada Allah SWT adalah intim dan rida.
Agama yang baik dan budi pekerti yang luhur secara keseluruhan merupakan buah nyata dari cinta. Cinta yang tidak membuahkan hal semacam itu berarti mengikuti hawa nafsu. Dan, ini jelas termasuk bagian dari budi pekerti rendah, hina dan tercela.


Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License

Cinta Allah kepada Hamba

Kitab Al Mahabbah wa al Syawq wa al Uns wa al Ridha, bab 10, Syekh Hujjatul Islam Abu Muhammad Al Ghazali, 450 – 505 H


Bukti-bukti Al Quran menunjukkan bahwa Allah SWT Mencintai para hambaNya.
Allah Mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya [QS Al Maidah : 54]
Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur
[QS Al Shaff : 4]
Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri [QS Al Baqarah : 222]

Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya Allah SWT memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai. Namun, Dia tidak memberikan keimanan kecuali kepada orang yang Dia cintai” [HR Al Hakim & HR Al Bayhaqi dalam Syu’ab Al Iman melaui jalur Ibn Mas’ud].

Beliau juga bersabda, “siapa saja yang merendahkan diri di hadapan Allah, maka Allah akan mengangkatnya. Siapa saja yang takabur di hadapan Allah, maka Allah akan menghinakannya. Siapa saja yang memperbanyak zikir kepada Allah, maka Allah akan mencintainya.” [HR Ibn Majah melalui jalur Abu Sa’id].

Sabda beliau yang lain, “Allah SWT berfirman, HambaKu tak henti-hentinya mendekatkan diri padaKu dengan berbagai amalan sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi telinga yang membuatnya bisa mendengar dan menjadi mata yang membuatnya bisa melihat.” [HR Al Bukhari melalui jalur Abu Hurairah].

Al Qur’an dan hadist yang berbicara tentang cinta cukup banyak. Kecintaan hamba kepada Allah SWT itu nyata, hakiki, dan bukan sekedar ungkapan kiasan. Sebab, cinta dalam konteks ucapan sehari-hari biasanya diartikan sebagai “kecenderungan diri terhadap sesuatu yang sejalan [dengan selera diri tersebut]”. Diri, sesuai dengan definisi ini, adalah diri yang tidak sempurna dan kehilangan sesuatu yang sejalan dengan seleranya. Diri yang kemudian berusaha mendapatkan kesempurnaan dengan cara memenuhi sesuatu yang hilang itu. Dengan begitu, ia merasa senang dan nikmat. Cinta dalam pengertian seperti ini mustahil terjadi pada Allah SWT. Sebab, semua bentuk kesempurnaan, keindahan dan kecantikan itu adalah hak milikNya dan ada dalam genggamanNya sejak jaman azali. Itu pun akan abadi selama-selamanya. Semua itu tidak mungkin berubah atau menghilang dari genggamanNya. Jadi, Allah sama sekali tidak mempunyai kesamaan dengan selain Dia, kecuali dari segi zat dan perbuatannya saja. Hanya Zat dan perbuatanNya yang ada dalam wujud ini.

Allah Mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya [QS Al Maidah : 54]. Allah mencintai mereka berarti Allah mencintai diriNya sendiri. Jelasnya, Allah adalah segala yang ada dan tak ada yang ada selain Dia. Siapa saja yang mencintai dirinya, semua perbuatan dirinya, dan aneka ciptaan dirinya, maka itu berarti cintanya hanya pada diri dan segala yang terkait dengannya. Dengan demikian, apapun yang dicintai Allah tak lain adalah diriNya juga.

Apa yang disebut dengan kecintaan Allah kepada hambaNya haruslah ditafsirkan dan dikembalikan kepada beberapa arti berikut. Pertama, tersingkapnya tabir dari hati hamba tersebut sehingga ia dapat melihatNya. Kedua, Allah SWT menguatkan hamba tersebut untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ketiga, kehendak Allah untuk menjadikan hamba itu seperti itu pada jaman azali.

Kecintaan Allah kepada hamba dikatakan bersifat azali apabila itu dikaitkan dengan kehendak azali Allah yang telah memampukan hamba tersebut menempuh jalan menuju kedekatan padaNya. Jika dikaitkan dengan perbuatan Allah menyingkap tirai hati hamba tersebut, maka kecintaan Allah yang demikian itu bersifat baru yang terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Ini sebagaimana difirmankan Allah dalam salah satu hadis qudsi : “Tak henti-hentinya hambaKu mendekatkan diri kepadaKu melalui amalan-amalan sunah hingga Aku Mencintainya.” Mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah dianggap sebagai sebab bagi kesucian hati dan terangkatnya tirai dari hati serta tercapainya kedekatan diri kepada Allah SWT. Semua itu jelas perbuatan Allah SWT dan kelembutan Dia terhadap hamba tersebut. Inilah arti kecintaan Dia kepada hamba itu.

Berikut ini beberapa contoh yang dapat menjelaskan paparan di atas.
Contoh pertama. Seorang raja mungkin saa mengijinkan abdi dalemnya untuk mendekatkan diri kepadanya. Ia mungkin pula mengijinkan sang abdi datang setiap saat semata karena raja itu menyukainya. Dengan kekuasaan yang dimiliki, mungkin sang raja ingin memberikan pertolongan kepada si hamba, atau sekedar ingin menikmati bertemu dan melihat sang abdi. Atau, bisa juga ingin berembuk dan meminta pendapatnya. Atau, mungkin saja raja ingin memberikan persediaan logistiknya. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa sang raja mencintainya, dalam arti ia menyukai si hamba karena memiliki beberapa hal yang sesuai dengan selera sang raja.

Contoh kedua. Kadang raja juga memperkenankan seorang hamba mendekatkan diri kepadanya dan tidak melarang masuk untuk menemui dirinya. Ini dilakukannya bukan karena ia ingin meminta bantuan atau memperoleh keuntungan apapun, tetapi semata karena hamba tersebut memang layak menjadi orang yang dekat dengan sang raja, bahkan sangat dekat. Ia memiliki budi pekerti luhur dan tabiat terpuji. Semata karena itu, sang raja menyukainya. Tidak ada maksud-maksud lain. Oleh karenanya, jika sang raja pada akhirnya mengangkat tabir antara dirinya dan hamba tersebut, maka itu bisa dikatakan ia mencintai abdinya. Ketika abdi dalem itu bisa berbuat sesuatu [akhlak mulia dan tabiat terpuji] yang menyebabkan terangkatnya tabir tersebut, maka itu berarti ia telah terhubung dengan sang raja. Ia pun menjadi dicintai.

Kecintaan Allah kepada hamba hanya dapat dimaknai sesuai contoh kedua, bukan contoh pertama, itupun dengan syarat tidak dipahami bahwa terjadi pergeseran posisi pada saat kedekatan antara Allah dengan hamba tersebut mengalami perubahan. Sebab, orang yang dicintai Allah pastilah dekat denganNya. Kedekatan kepada Allah terjadi manakala hamba menjauhi sifat-sifat kebinatangan, perilaku kebuasan, dan adat setan serta berakhlak ketuhanan. Kedekatan disini adalah kedekatan sifat, bukan tempat. Orang yang sebelumnya tidak dekat kemudian menjadi dekat, maka ia dianggap telah mengalami pergeseran. Barangkali, berangkat dari pemahaman ini, ada yang mengira bahwa setiap kali kedekatan itu berubah, setiap kali itu pula sifat hamba dan Tuhan sama-sama berubah. Bukankah masing-masng jadi berdekatan setelah sebelumnya berjauhan ? ini mustahil bagi Allah SWT, karena perubahan padaNya merupakan kemustahilan. Bahkan, Dia senantiasa berada dalam kesempurnaan dan keagungan sejak jaman azali hingga kini.

Contoh kondisi di atas yang berhubungan langsung dengan kedekatan orang per orang, mungkin bisa dikatakan sebagai berikut : dua orang dapat saling berdekatan dengan cara masing-masing bergerak untuk mendekat, atau, satu orang tetap di tempat, sementara yang lain bergerak mendekat. Artinya, satu orang bergeser, sementara yang lain tidak.

Begitu pula dengan kedekatan sifat. Seorang murid berusaha mendekati posisi gurunya dalam hal kualitas keilmuannya yang sudah sempurna. Sang guru berdiri di atas kualitas keilmuannya yang sempurna dan tidak bergerak turun ke posisi muridnya. Sementara itu, si murid bergerak dari bumi kebodohan naik ke ketinggian ilmu pengetahuan. Ia terus-menerus berubah dan naik sampai ia mendekati gurunya, sedangkan sang guru tidak berubah dan tetap dalam posisinya.

Demikianlah mestinya kita memahami bagaimana seorang hamba naik ke peringkat kedekatan dengan Allah SWT. Ketika sifatnya sudah menjadi sangat sempurna, ilmu dan penguasaannya terhadap hakikat permasalahan sudah sangat mumpumi, kemampuannya menaklukan setan dan membungkam hawa nafsu sudah sangat maksimal, maka ketika itu pula ia sudah sangat mendekati peringkat kesempurnaan. Meski begitu, ia tak akan pernah mencapai puncaknya, karena puncak kesempurnaan mutlak hanya milik Allah SWT. Kedekatan masing-masing orang kepada Allah didasarkan atas kesempurnaannya.
Memang, kadang terjadi seseorang murid dapat mendekati gurunya, menyamai, atau bahkan melebihi. Namun, hal ini mustahil terjadi kepada Allah SWT, karena kesempurnaanNya tidak terbatas. Lagi pula tidak mungkin seorang hamba dapat menempuh jalan hingga mencapai tingkat kesempurnaan. Ia pasti akan berhenti pada satu titik batas yang telah ditetapkan dan tidak bisa bercita-cita lebih jauh untuk menyamai Tuhan.

Kemudian tingkat kedekatan masing-masing hamba kepada Allah SWT pun berbeda-beda secara tidak terbatas. Sebab kesempurnaan itu sendiri tidak mengenal batas. Kalau begitu, maka kecintaan Allah kepada hambaNya mestilah dimaknai sebagai perbuatan Allah mendekatkan hamba kepada diriNya dengan cara menanggalkan kesibukan [dengan urusan dunia] kemaksiatan dari hamba itu, juga menyucikan batinnya dari kotoran-kotoran dunia, dan mengangkat tabir dari hatinya, sehingga ia dapat menyaksikan diriNya. Singkatnya, seolah-olah ia melihat Allah dengan kalbunya.

Sementara itu, kecintaan hamba kepada Allah SWT dimaknai sebagai kecenderungan untuk meraih kesempurnaan yang tidak ada pada dirinya. Apa yang tidak ada pada dirinya itualh yang pasti akan terus dirindukannya. Kalau sudah tercapai, walau hanya sebagian kecil saja, ia pasti merasa nikmat dan senang. Cinta dan kerinduan dalam arti ini jelas mustahil bagi Allah SWT.

Jika ada yang mengatakan, “kecintaan Allah kepada hambaNya merupakan persoalan yang masih rancu dan tidak jelas,” maka saya ingin bertanya, “apa indikasi untuk mengetahui bahwa seseorang itu kekasih Allah ?.”

Untuk mengetahui indikasinya, kita patut menyimak sabda Rasulullah SAW di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Al Thabrani melalui jalur Abu ‘Utbah Al Khawlani : “jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya cobaan. Jika Dia sungguh-sungguh sangat mencintainya, maka Dia akan memilikinya.” Seorang sahabat bertanya, “maksudnya Dia akan memilikinya ?” Beliau menjawabnya, “Dia tidak akan menyisakan keluarga dan harta sedikitpun untuknya.”
Jadi, indikasi kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah bahwa Allah SWT melepaskan orang itu dari ketergantungan kepada selain diriNya, juga menghalangi antara dia dan selain diriNya.

Nabi Isa AS pernah ditanya “Mengapa Anda tidak membeli keledai saja sebagai kendaraan Anda ?” Beliau menjawab, “Aku lebih merasa mulia di sisi Allah dibandingkan dengan melupakan Dia gara-gara sibuk mengurusi keledai.”

Dalam hadist disebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya cobaan. Jika ia sabar, maka Dia akan memilihnya. Dan jika ia rela [menerima cobaan itu], maka Dia akan menyucikannya” [HR Al Firdaws melalui jalur Ali Ibn Abi Thalib].

Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Manshur Al Daylami melalui jalur Ummu Salmah, Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menjadikan sang pemberi peringatan kepada dirinya, juga sang pencegah terhadap hatinya yang akan memerintahnya dan melarangnya.” Beliau juga bersabda, “Jika Allah menghendaki seorang hamba itu baik, maka Dia akan memperlihatkan aib dirinya.”

Indikasi paling signifikan kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah kecintaan hamba itu sendiri kepada Allah. Hal itu sekaligus merupakan bukti kecintaan Allah kepada hamba tersebut.

Adapun perbuatan yang menunjukkan bahwa seorang hamba dicintai Allah adalah bahwa Dia membimbing langsung semua urusannya, baik lahir maupun batin, baik yang transparan maupun yang rahasia. Dialah yang memberi petunjuk kepadanya, menghiasi akhlaknya, yang menggerakkan seluruh organ tubuhnya, serta meluruskan lahir dan batinnya. Dialah yang memfokuskan cita-citanya pada satu tujuan [yaitu Allah SWT], menutup hatinya dari dunia, dan merasa tidak berkepentingan terhadap selain Dia. Dialah yang menjadikan hamba itu merasa puas menikmati munajat dalam khalwat [kesendiriannya], juga menyingkap tabir antara Dia dan makrifatnya.
Itulah beberapa contoh yang mengindikasikan kecintaan Allah kepada seorang hamba. Selanjutya, saya akan menjelaskan indikasi kecintaan hamba kepada Allah. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas, ini juga termasuk salah satu indikasi kecintaan Allah kepada seorang hamba.

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-No Derivative Works 3.0 License